Kamis, Mei 29, 2014

SETELAH DUA TAHUN



             Gemericik hujan perlahan mulai membasahi tubuhku. Kakiku perlahan mulai melangkah dengan pasti menerobos derasnya air yang berjatuhan dengan ganas itu. Kini persepsi tentang hujan setelah setahun yang lalu mulai berbeda. Inikah rasanya hujan? Oh, kenapa aku baru merasakan lagi sekarang? Sejuk, indah, menenangkan!

Selangkah lagi aku akan melangkah dan meraih gagang pintu bis itu dengan riangnya. Sungguh kini aku bisa memutar balikkan persepsiku tentang hujan. Namun, jujur hati nuraniku sedikit berkata lain, ada rasa khawatir di dalamanya. Khawatir bagaimana kalau sampai rumah nanti aku akan jatuh sakit? Bagaimana kalau sampai rumah mendapat siraman rohani dari mama yang mengetahuiku basah kuyub seperti ini? Sudahlah, pasti mama akan bangga denganku karena aku takkan merepotkannya lagi ketika gumpalan awan tak lagi mampu menahan nafsu jutaan air itu.
Kernet bis mulai menutup pintu seiring bertambah derasnya hujan, Pak Tua dengan perawakan putih dan tinggi itu menjalankan kendaraanya. Bibirku tak hentinya meliuk-liuk dengan sendirinya melihat jendela yang mulai mengembun efek hujan. Bersamaan dengan kilatan cahaya putih handphoneku berdering sedikit memecah keheningan. Terpampang di layar jelas, nyata sebuah nama yang sudah jarang berkomunikasi denganku. Terselip kekhawatiran tentang keadaan saudaranya itu.
“Halo? Assalamualaikum” kuberanikan mulutku berkata ditengah ricuhnya fikiranku.
“waalaikumsalam.”
“ada apa mbak lyn? Tumben telfon?”
“Kamu lupa denganku? Ya Tuhan”
Ya Tuhan, suara ini. Suara yang sekian lama telah ku tunggu kehadirannya. Suara berat yang sungguh sangat renyah. Tapi benarkah ini kamu? Kamu yang senantiasa memberi warna di hidupku yang meninggalkanku begitu saja dengan sebuah pesan yang kukira lelucon belaka? Otakku terus berputar. Mulutku tercengang, Lidahku kelu seakan tak bisa berkata lagi sampai akhirnya orang yang belum jelas itu memanggil namaku dengan lantangnya.
“Dodit! Iyakan Dodit?! Bukan mbak Sherlyn?”
“untunglah kamu masih mengingatku Zel”
“sungguh ini kamu? Haruskah kali ini aku mempercayaimu lagi setelah
Kamu meninggalkanku begitu saja? Haha” sudut mataku mulai basah
“Iya. Sungguh. Maaf untuk waktu itu. Em.. Kamu sekarang di mana Zel?”
“Di bis, baru pulang kerja. Kenapa?”
“Aku pulang ke Malang sekarang, aku pingin ketemu kamu!”
“Kamu pulang ke Malang?! Kamu bukan jelangkung kan? Datang tak pernah
Diundang lalu pulang tak pernah diantar kan?”
“Maafin Zelda. Yang penting aku sekarang pulang kan. 30 menit lagi aku
Tiba di Stasiun Kota Baru.”
“Oke, aku bakal putar balik ke sana! Tunggu!
Tut..tut..tut aku meninggalkannya tanpa salam. Yang kupikirkan dia pulang pulang dan pulang. Langkahku tak berhenti mencari bis lagi. Syukurlah tak lama aku mendapatkannya. 20 menit aku menghabiskan waktu di bis dengan perasaan yang menggebu. Bertemu dengannya dan bertemu. Terselip syukur untuk hari ini, Tuhan telah memberiku kejutan demi kejutan yang sangat berharga.
Ruang tunggu. Aku langsung berlari kecil menghindari hujan yang belum reda juga. Duduk di sudut ruangan membuatku sedikit lebih hangat dengan pakaian yang hampir kering itu. Lagu Afgan-Dalam Mihrab Cinta berputar diotakku. Syukurlah masih ada earphone jadi tak perlu jengkel menunggu lama seperti ini.
“Hai Zel. Bangun dong!” suara lembut itu membangunkanku dari tidur pendek itu.
“Dodit!!! Aku merindukanmu! Sungguh!”
Aku tak bisa berucap banyak lagi hanya air mata rindu yang bisa mengartikan semuanya. Jantungku serasa berhenti berdetak. Jarum jam juga berhenti. Ruang tunggu itu menjadi hening yang kurasa hanya ada diriku dan Dodit.
“Aku juga sangat rindu sama kamu. Tapi, kamu melupakan satu orang”
“Siapa?”
“Hai Zeldaa! Ehem lengket banget!”
“Mbak Sherlyn! Aaaaa Ya Tuhan kamu kak! kenapa kalian tak mengabariku kalau mau pulang? Setidaknya aku bisa menyiapkan makanan atau yang lainnya”
“aku berkumpul seperti dulu sudah bahagia Zelda” kata seorang cowok
Bernama Dodit Amiruddin itu.
Ya Allah, bagaimana Engkau mengubahnya menjadi sosok yang sangat menghanyutkan wanita ini. Senyumnya tak berkurang sedikitpun. Bisakah aku berbagi kisah, saling memberi warna lagi seperti dulu? Aku rindu semuanya.
“Zel, pulang yuk mumpung ada bis. Kalau kamu bersedia aku akan
 Mengantarmu sepulang dari rumahku.”
“Baiklah pangeran!”
Pandangan mata kita sempat terkunci beberapa saat. Saling beradu menikmati semua perubahan wajah satu per satu. Rambutmu masih sama seperti dulu. Lurus, rapi. Itu yang selalu membuatku iri denganmu. Bola mata coklat kehitaman itu membuatmu lebih indah. Betapa besar karunia Tuhan.
“Zelda, bagaimana bisa kamu basah kuyub seperti itu? Bukankah..”
Tangannya yang lembut menyentuh ujung kepalaku dengan tulus.
“Dodit.. bagaimana menurutmu jika bertahun-tahun seseorang tak
mengubah perilaku buruknya?”
“Tapi, bukankah kamu takut hujan setelah peristiwa setahun yang lalu?”
“Kau masih mengingatnya?” wajahku berpaling dari jendela mendengarnya.
“Tentulah! Setiap kali hujan Dodit pasti akan menanyakan padaku apakah
kamu masih takut hujan? Siapa yang akan melindungimu sekarang? Dan..”
Semua menjadi hening seketika. Aku masih berfikir apakah benar selama dia di sana masih memikirkanku? Aku yang selalu merepotkannya? Atau dia hanya ingin direpotkan lagi?
“Setahun yang lalu. Kamu, mama, papa, dan adik kamu liburan ke Batu.
Awalnya semua berjalan dengan lancer. Tapi semua berubah ketika kalian
memilih pulang. Di sekitar Pujon, hujan turun dengan ganasnya. Jalanan
berubah menjadi licin. Tak lama hal yang tidak diinginkan terjadi. Sebuah
truk melintas dan rem mobilmu blong..”
Aku memotong penjelasannya yang justru rasa trauma pada hujan itu kembali datang.
“Karena itu aku takut dengan hujan, karena hujan aku harus kehilangan
Ayahku.” Air mataku tak bisa lagi menahan air mata yang menerobos, memaksanya untuk segera meluncur.
“Tapi kamu sekarang sudah tak takut lagi?”
“Karena mu Dit. Kepulanganmu ke Malang membuat aku kembali berani mencoba hal yang aku benci.”
“Aku akan selalu ada untukmu. Aku menahan rinduku selama dua tahun terakhir ini, Selama kita tak saling tatap muka.”
“sama.” Jawabku singkat, untunglah di dalam gelap. Aku bisa menyembunyikan pipiku yang merah.
“ada rasa yang terus berkembang”
“Apa?”
“Aku mencintaimu, cinta lebih dari seorang teman lama”
“Sama. Setelah dua tahun aku menunggumu pulang kini rasa itu semua terbayar.”
Betapa beruntungnya aku. Sudah tak takut lagi dengan hujan, aku mendapatkan lagi apa yang kubutuhkan dan inginkan. Semua berjalan dengan normal. Itulah penantian, terkadang di selanya membosankan dan ketika yang dinanti benar-benar kembali semua terbayar lunas. Penantian indah bila yang dinanti bukan seorang pengecut dan tepat untukmu.

Tidak ada komentar: