"Aku mau ke Gereja. Kamu mau bubur ayam?"
Sepucuk pesan yang selalu menggetarkan handphoneku ketika sinar mentari mulai mengintip, menerobos melalui celah-celah gorden yang tertiup angin. Udara dingin memaksaku menaikkan selimut sampai menutupi kepala. Maaf pesanmu takku gubris sedikitpun. Tubuhku termakan dinginnya udara yang menusuk tulang. Untuk kedua kalinya alarm dan handphone berbunyi lalu bergetar beriringan. Harmonis. Jari-jemari tangan dengan cekatannya bekerja sama mematikan alarm dan mencari handphone yang sedari tadi bergetar. Menyipitkan mata sampai mata benar-benar menangkap kalimat yang terpampang di layar.
Jariku mulai bekerja mengotak-atik abjad dengan wajah penuh semangat. Memintanya tak perl repot membelikanku bubur. Cericis burung bersahutan mengiringi rasa syukur, dengan sangat khidmat. aku bersyukur masih bisa bangun di pagi yang indah ini, masih mendengar ocehan khas mama, masih melihat pesan singkatmu menggetarkan handphoneku seperti Minggu pagi biasanya.
"Sepulang kebaktian, aku jemput kamu Zia. Aku pengen sarapan bubur ayam sama kamu. Mau?"
Entah angin apa yang tiba-tiba meniup bulu kuduku sampai selimut yang tadi menutupi tubuhku sudah berpindah di pojok tempat tidur. Otakku langsung bekerja. Memerintahku berlari dan langsung menyambar gagang pintu kamar mandi. Shower hidup. Dengan iramanya air bergantian mengguyur ujung rambut sampai kakiku yang entah sudah berbau seperti makanan kemarin mungkin. Dinginnya air berbaur dengan dinginnya udara. Cericis air berjatuhan di lantai kamar mandi mengurangi kesunyian seisi rumah. Terlintas di benak, ini terlalu pagi untuk bergulat dengan udara yang begitu dinginnya tanpa tertolerir sedikitpun. Tanpa pikir panjang aku menghiraukan.
Kurebahkan diriku di atas karpet polkadot dengan bulunya yang seperti panda. Tak lupa sahabat karibku. Gitar warna hijau tosca dengan kolaborasi batik di pojok kanan atasnya. Jari seolah sudah hafal tanpa disuruh memainkan lagu yang selalu kumainkan setiap kali. Ungu-Ingin Selamanya. Hampir kumasuki seluruh isi lagu itu. Terbayang beberapa hari lalu. Pembicaraan yang menarik. Cinta dan Agama. Lebih dari satu setengah tahun kita menjalin hubungan ini. Jujur baru kali ini aku berpacaran dengan seorang lelaki dengan waktu seperti ini. Aku sangat menikmati perbedaan kita. Menikmati toleransi kita. Sebelumnya aku tak pernah mendapat Cinta yang setulus ini. Perbedaan agama. Kita sudah dewasa sudah bisa menentukan pilihan masing-masing. Aku memilih mencintaimu karena aku sudah dewasa.
Saat itu kamu berkata "Aku akan melakukan apapun jika itu membuat kita bahagia. Tapi entah untuk Agama. Bukannya aku tidak berani atau tidak tertarik dengan ISLAM. Hanya saja aku masih butuh persiapan mental, harus berani menanggung resiko besar akan apa yang keluargaku lakukan atas perbuatanku. Aku tidak mau menjadi seorang mualaf hanya karena ingin menikahi kamu lantas hati dan keyakinanku masih tertinggal di Agamaku. Aku harus menjadi seorang mualaf yang mampu menjadi seorang imam bagimu kelak. Jika Tuhan menjizinkan." Sebagai seorang wanita yang bisa dibilang tegar. Kali ini aku menitihkan air mata di hadapanmu. Air mata itu sudah tidak menetes melainkan sudah mengalir deras di pipi. Hanya bisa tertunduk . Lalu kau berlutut di depanku. Tanganmu mungkin diciptakan mengusap air mataku kali ini. Dadamu yang bidang ditakdirkan memelukku erat sampai kepalaku tenggelam dalam hangatnya ketulusanmu. Aku sangat mencintai perbedaan kita. Lagi-lagi aku menitihkan air mata hanya untuk mengingat kejadian dua minggu yang lalu. Hati kembali sesak ketika mengingatmu sekarang sedang berada di rumah Tuhanmu mungkin sedang bercerita dengan seorang pastor tentang cinta kita dan perbedaan atau kau bercerita kepada Tuhanmu dan melipat tangan meminta diberi jalan untuk cinta kita.
Terdengar dari jauh suara sepeda motormu tak lama suara beratmu terdengar telinga. Bukan lagi PERMISI yang di ucapkan melainkan Assalamualaikum. Langsung ku sambar kerudung yang sudah kupersiapkan. Kerudung hijau tosca sederhana tapi nyaman dipakai yang kamu belikan saat kerudungku basah terkena derasnya air hujan sementara tugas kita masih banyak. Aku berlari kecil menuju gerbang tak lupa mengunci rumah karena rumah dalam keadaan kosong.
"Kamu cantik hari ini, Zi" Senyum Nathan melebar. Serasa diriku sudah dipenuhi lagi dengan semangat yang menggebu. Sebuah lengkungan di bibir dengan lesung pipi yang manis. Senyum yang sempurna.
"Aku gaperlu muji hari ini. Kamu tiap hari udah ganteng Nat"
Kamu menggandeng tanganku dalam. Beribu arti dibaliknya. Kita bukan sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta lalu lupa norma. Genggaman tangan ini bukti bahwa kami takut untuk saling kehilangan. Bukti keseriusan kita.
"Di gereja tadi ngapain?"
"Ibadah, curhat sama pastor, berdoa"
"curhat? curhat hubungan kita lagi?"
"kamu kep banget. Biasanya kepo itu tanda sayangnya makin ningkat" guraunya sambil mengelus kepala
"Iya. Kenapa? emang setiap aku nafas cintaku ke kamu nambah"
Seperti biasa Nathan memesan bubur ayam dua. Entah sejak kapan aku menyukai bubur ayam padahal sebelum aku mengenalinya paling anti dengan bubur. Dapat disimpulkan setidak enak atau setidak suka pada hal itu kalau dilakuin bareng sama orang kesayangan pasti nikmat.
"Kamu mau ke mana lagi?" tanya Nathan bersamaan menyodorkan helm yang berada ditangannya
"Terserah kamu, kamu mau kemana lagi?"
"Kamu engga sibuk? kalau enggak temenin beliin hadiah buat ulang tahun mama boleh?"
"Boleh banget! Yuk"
Dan inilah saat yang kutunggu menyalurkan perhatianku yang sama persis kuberikan pada Nathan saat dia ulang tahun. Sesuai kesukaan Tante Christine aku menyarankan hadiahnya tas dan anaknya menyetujui. Lalu kita memutuskan untuk pergi ke toko tas milik Tante Risma adik mamaku. Kita sudah ditakdirkan sehati mungkin sampai memilih tas pun kita menjatuhkan hati pada pilihan yang sama. Tas berwarna coklat manis yang simple tapi menampung banyak isi dan harganya juga tidak terlalu tinggi. Aku meminta bantuan Tante Risma sekalian membungkusnya semenarik mungkin.
"Aku aja bangga punya kamu. Apalagi mama kamu ya? memilikinya permanen"
"Emang kamu ngemilikin aku engga permanen?"
"Kalau Tuhan menghendaki semoga permanen..hihi"
"Harus! harus permanen. Sekarang mau kemana lagi?"
"Pulang aja. Nanti kamu dicariin Tante"
Sampai rumah ternyata keluargaku sudah mengisi rumah. Nathan lalu meminta izin untuk pulang dan tanpa ku ketahui dia sudah memesankan bubur ayam untuk keluargaku terutama untuk adikku yang maniak bubur. Selalu saja dia pandai mengambil hati keluargaku walau keluargaku selalu saja ragu dengan hubungan kita.
"Habis dari mana? keluar sama Nathan lagi?"
"Assalamualaikum dulu maa..Iya. Ini dari Nathan" sambil menyodorkan kantong plastik yang berisi bubur ayam
"Pasti bubur ayam!" Sahut Keke. "Mas Nathan emang pinter ga salah deh kak..hehe"
"Kamu masih sama Nathan, Nduk?"
"Kenapa setiap kali aku keluar sama Nathan pertanyaannya begitu?"
"Mama cuma khawatir sama kamu. Sekarang banyak yang jadi mualaf cuma karena mau nikah. Kamu tau hukumnya?"
"Tau ma, tapi Nathan enggak kaya yang mama bayangin! Mama pernah muda kan? pernah ngalami cinta? masa remaja ke dewasa juga kan? Apasalahnya kalau aku menjalin cinta dengan seorang yang berbeda agama? Tuhan menciptakan manusia berbeda dan tujuannya bersatu. Apa aku sama Nathan gak bisa disatukan?"
"Fazia, api engga bakal bisa bersatu dengan air, Nak"
"Maaf ma" Aku berlari menuju kamar dan menguncinya entah kenapa bisa aku membentak mama seperti itu.
Apakah cinta dan perbedaan agama benar-benar tak dapat disatukan? Salahkah jika aku beradu kasih dengan lelaki yang beribadah di gereja? Aku tau kalau Salib dan Tasbih berbeda salah jika kita punya rasa yang sama? Kalau aku pakai jilbab dan kamu menggenakan kalung salib salah? gaboleh cinta? Aku tau kita dipersatukan dalam karunia Tuhan yang berbeda!
Keesokan harinya Nathan menemuiku di lapangan voli sebelum dia berlatih basket dan aku berlatih lomba PMR di lapangan voli. Dengan wajahnya yang masih tetap seperti hari kemarin. Pantulan senyum yang merambat melalui udara. Pandangan kita sempat beradu terkunci di udara saling menebak apa yang akan di katakan.
"Aku mau tanya serius sama kamu Zi"
"Apapun aku selalu serius Nath"
"Kamu beneran mau jadi pendampingku saat ini dan selamanya?"
Seolah badanku tertusuk duri halus. Lidahku kelu, tubuhku kaku, kuberanikan menatap matamu. Saat ini aku benar-benar tahu letak keseriusanmu. Aku lagi-lagi menjatuhkan air mata.
"Kalau aku engga beneran kenapa aku masih berjuang meski dalam kesakitan, Nathan? Kalau Tuhan mengizinkan, Agama mempersatukan" aku benar tak lagi mampu menahan tangis yang terus mencabik hati dan iman seperti ini
"Kamu masih ingat kata-katamu? kamu bakal optimis berhasil sama hubungan kita di usia yang menginjak 25 tahun ini! Dan sekarang impian kita benar-benar terwujud Zia! Terwujud"
"Maksud kamu Nath? aku beneran engga ngerti"
"Orang tua ku sudah mengizinkan aku menjadi imam mu, menjadi seorang mualaf. Mereka yakin aku sudah dewasa kalau impianku menikahimu, mereka mendukung. Tanggung jawab mereka akan pilihanku sudah selesai. Selakyaknya aku dilahirkan dalam kondisi putih suci maka terserah mereka mewarnai dengan warna apa. Sekarang aku benar-benar yakin akan pilihanku Faz"
Tetesan air mata bersatu dalam diam. Kutenggelamkan kepalaku di dadanya yang bidang. Inilah jawaban aku bertahan, berjuang dalam kesakitan yang kian menjadi. Terimakasih Tuhan telah kau persatukan. Aku yakin Engkau mencintai penyatuan perbedaan. Syukur syukur syukur kupanjatkan dalam sholat tahajud kali ini.
Keluargaku juga sudah mantap akan keputusan Nathan yang dengan beraninya mendatangi dan mengungkapnkan semua pada papaku. Syukur beriringan dengan rasa haru yang membuahkan bulir air mata ketika dirimu mengucap syahadat dua kali dengan lancar sebelum acara lamaran di mulai. Keluarga kami bersatu dalam suasana harmonis. Dua Agama yang bersatu dalam ikatan cinta dan keluarga besar. Terimakasih Tuhan. Perjuangan dalam Tangis ini Cinta Sempurna bagi Kami. Kan ku bimbing Nathan mendalami Islam sampai dia benar-benar menjadi seorang Imam yang patut diteladani. Seperti Papa. Sekarang tak lagi ada yang berbeda Cintaku semakin menjadi terhadapmu. Ku tahu bahwa Cinta takkan meninggalkan.
Tamat..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar