Sayang, apakah sekarang kau melihat bulan baru itu. Indah. Aku juga melihatnya. Seperti itulah cintaku. Berawal dari sabit-bulan separuh-lalu menjadi bulan baru. Bulat. Dan itu, bercak kehitaman yang transparan selayaknya jalan tidak rata yang aku lewati saat aku menantimu.
Sejak kau mengucap kalimat perpisahan, aku tak menemui sosok sepertimu. Maka dari itu aku selalu yakin bahwa kamulah yang terbaik untukku. Ketika kau mulai mengeluarkan kalimat dari bibirmu itu aku tak berani melihat matamu. Padahal sebelumnya aku selalu ingin melihat mata itu. Mungkin kau berfikir aku akan kuat mendengar perkataanmu itu. Tapi aku bukan wanita tangguh yang tak bisa mengeluarkan air mata untuk hal sesedih apapun. Mataku memang melihat wajahmu. Tapi aku mengalihkan pada dagumu. Aku tau bola matamu selalu memancarkan ketulusan. Begitu juga dengan mulutmu. Semakin ku lihat semakin banyak pula duri yang menancap. Mataku sembab, perlahan mulai menjatuhkan bulir berliannya. Air mata itu bertambah ganas ketika aku benar merasa rapuh. Jujur, keganasan itu juga karena aku tak pernah mengeluarkannya dai kantongnya.
Perlahan kuberanikan diri menatap matamu. Aku ingin tahu, apakah kau serius dengan perkataanmu. Kuharap kau hanya ingin tau betapa tulusnya aku mencintaimu. Semua berbeda. Jauh dari harapan. Pipimu terus berlinang air mata. Bibirmu bergetar. Ini bukan bualan. Ini kenyataan yang harus kuhadapi. Untuk pertama kalinya kita saling menunjukkan air mata. Tanganmu menarik tubuhku jatuh di pelukanmu begitu juga aku yang hanya bisa melingkarkan tanganku di perutmu. Semakin lama aku merasa ingin cepat terbangun dari mimpi. Sayangnya, ini bukan mimpi. Lenganmu mulai merenggang. Kau lepas pelukanmu dan kau sentuh pipiku dengan lembut. Mata kita beradu pandang sesaat saling menunjukkan kerapuhan.
Kau berkata, aku akan selalu mencintaimu. Setiap hari akan selalu kukirimi kau pesan. Berjanjilah, kau akan setia menungguku pulang, kau selalu merawat rasa kita. Aku tidak akan lama. Kau harus tetap tangguh seperti biasa ketika aku tidak berada di sampingmu. Tapi aku akan selalu ada di sini, untukmu. Hati. Kau meninggalkanku dengan kecupan hangat di dahi. Sungguh aku tidak pernah berfikir sedikitpun tentang ini semua. Kau meninggalkanku begitu cepat. Kala aku merindukanmu, aku selalu datang ke pameran sastra tiap minggunya. Di sana aku merasakan awal pertemuan kita. Aku juga masih sering datang ke warung rujak kesukaan kita.
Tapi kini,aku merasa kau telah benar-benar pergi. Tak ada kabar darimupun. Mungkin kau memang terlalu sibuk sampai mengabarikupun kau tak sempat. Ketika aku rindu akan tawamu, aku selalu melakukan hal yang sama. Memutar rekaman kita yang pernah kuunggah di Soundcloud, atau memutar percakapan kita di line. Aku yakin ketika aku melakukan itu rasa rinduku terobati. Ternyata tidak, Rasa rindu itu terus menghujaniku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar