Sabtu, Mei 31, 2014

Ku Harap Kau Kembali

Dua tahun berlalu. Tapi apakah kau tau, aku selalu membawa perasaanku kemana saja dengan segudang harapan. Itu tidak mudah, Sayang. Menjaga hati dari kerumunan mantan. Hujan-panas-hujan lagi aku terus mengalaminya. Rasaku padamu tak sedikitpun tergerus air. Karena aku mencintaimu layaknya memelihara bunga, selalu merawat-menyiram-memupuk. Kau tahu, itu kulakukan karena aku tak ingin cintaku padamu layu. Mungkin aku memang tolol. Menunggumu yang tak pernah menampakkan batang hidung sekalipun, jangankan itu, mengirim kabar padakupun itu sangat jarang. Tapi aku tidak mengindahkan perkataan mereka.

Sayang, apakah sekarang kau melihat bulan baru itu. Indah. Aku juga melihatnya. Seperti itulah cintaku. Berawal dari sabit-bulan separuh-lalu menjadi bulan baru. Bulat. Dan itu, bercak kehitaman yang transparan selayaknya jalan tidak rata yang aku lewati saat aku menantimu.

Sejak kau mengucap kalimat perpisahan, aku tak menemui sosok sepertimu. Maka dari itu aku selalu yakin bahwa kamulah yang terbaik untukku. Ketika kau mulai mengeluarkan kalimat dari bibirmu itu aku tak berani melihat matamu. Padahal sebelumnya aku selalu ingin melihat mata itu. Mungkin kau berfikir aku akan kuat mendengar perkataanmu itu. Tapi aku bukan wanita tangguh yang tak bisa mengeluarkan air mata untuk hal sesedih apapun. Mataku memang melihat wajahmu. Tapi aku mengalihkan pada dagumu. Aku tau bola matamu selalu memancarkan ketulusan. Begitu juga dengan mulutmu. Semakin ku lihat semakin banyak pula duri yang menancap. Mataku sembab, perlahan mulai menjatuhkan bulir berliannya. Air mata itu bertambah ganas ketika aku benar merasa rapuh. Jujur, keganasan itu juga karena aku tak pernah mengeluarkannya dai kantongnya.

Perlahan kuberanikan diri menatap matamu. Aku ingin tahu, apakah kau serius dengan perkataanmu. Kuharap kau hanya ingin tau betapa tulusnya aku mencintaimu. Semua berbeda. Jauh dari harapan. Pipimu terus berlinang air mata. Bibirmu bergetar. Ini bukan bualan. Ini kenyataan yang harus kuhadapi. Untuk pertama kalinya kita saling menunjukkan air mata. Tanganmu menarik tubuhku jatuh di pelukanmu begitu juga aku yang hanya bisa melingkarkan tanganku di perutmu. Semakin lama aku merasa ingin cepat terbangun dari mimpi. Sayangnya, ini bukan mimpi. Lenganmu mulai merenggang. Kau lepas pelukanmu dan kau sentuh pipiku dengan lembut. Mata kita beradu pandang sesaat saling menunjukkan kerapuhan.

Kau berkata, aku akan selalu mencintaimu. Setiap hari akan selalu kukirimi kau pesan. Berjanjilah, kau akan setia menungguku pulang, kau selalu merawat rasa kita. Aku tidak akan lama. Kau harus tetap tangguh seperti biasa ketika aku tidak berada di sampingmu. Tapi aku akan selalu ada di sini, untukmu. Hati. Kau meninggalkanku dengan kecupan hangat di dahi. Sungguh aku tidak pernah berfikir sedikitpun tentang ini semua. Kau meninggalkanku begitu cepat. Kala aku merindukanmu, aku selalu datang ke pameran sastra tiap minggunya. Di sana aku merasakan awal pertemuan kita. Aku juga masih sering datang ke warung rujak kesukaan kita.

Tapi kini,aku merasa kau telah benar-benar pergi. Tak ada kabar darimupun. Mungkin kau memang terlalu sibuk sampai mengabarikupun kau tak sempat. Ketika aku rindu akan tawamu, aku selalu melakukan hal yang sama. Memutar rekaman kita yang pernah kuunggah di Soundcloud, atau memutar percakapan kita di line. Aku yakin ketika aku melakukan itu rasa rinduku terobati. Ternyata tidak, Rasa rindu itu terus menghujaniku.

Aku tak tau, bagaimana bisa kau melakukan itu. Ilmu apa yang kau pakai pun aku tak tau. Aku berharap, kau kembali. Kembali menemaniku seperi dulu, memulihkan hari-hariku, memberi candaan kapanpun aku membutuhkannya. Aku tak ingin semua berakhir seperti ini. Sayang, aku bersungguh-sungguh. Tak mungkin aku tak bersungguh, fotomu selalu melekat di dompetku. Ketika aku membukanyapun aku akan selalu melihat fotomu ketika kita merayakan kelulusan SMA tiga tahun yang lalu. Aku benar merasa nyawaku lebih berarti bersamamu. Aku berharap kau kembali, merajut masa depan bersamaku, tinggal di sini. Kau tak perlu membawakanku patung pancoran, ku hanya ingin kau pulang dengan segala hasil dengan perasaan yang sama kepadaku, Sayang.

Kamis, Mei 29, 2014

SETELAH DUA TAHUN



             Gemericik hujan perlahan mulai membasahi tubuhku. Kakiku perlahan mulai melangkah dengan pasti menerobos derasnya air yang berjatuhan dengan ganas itu. Kini persepsi tentang hujan setelah setahun yang lalu mulai berbeda. Inikah rasanya hujan? Oh, kenapa aku baru merasakan lagi sekarang? Sejuk, indah, menenangkan!

Selangkah lagi aku akan melangkah dan meraih gagang pintu bis itu dengan riangnya. Sungguh kini aku bisa memutar balikkan persepsiku tentang hujan. Namun, jujur hati nuraniku sedikit berkata lain, ada rasa khawatir di dalamanya. Khawatir bagaimana kalau sampai rumah nanti aku akan jatuh sakit? Bagaimana kalau sampai rumah mendapat siraman rohani dari mama yang mengetahuiku basah kuyub seperti ini? Sudahlah, pasti mama akan bangga denganku karena aku takkan merepotkannya lagi ketika gumpalan awan tak lagi mampu menahan nafsu jutaan air itu.
Kernet bis mulai menutup pintu seiring bertambah derasnya hujan, Pak Tua dengan perawakan putih dan tinggi itu menjalankan kendaraanya. Bibirku tak hentinya meliuk-liuk dengan sendirinya melihat jendela yang mulai mengembun efek hujan. Bersamaan dengan kilatan cahaya putih handphoneku berdering sedikit memecah keheningan. Terpampang di layar jelas, nyata sebuah nama yang sudah jarang berkomunikasi denganku. Terselip kekhawatiran tentang keadaan saudaranya itu.
“Halo? Assalamualaikum” kuberanikan mulutku berkata ditengah ricuhnya fikiranku.
“waalaikumsalam.”
“ada apa mbak lyn? Tumben telfon?”
“Kamu lupa denganku? Ya Tuhan”
Ya Tuhan, suara ini. Suara yang sekian lama telah ku tunggu kehadirannya. Suara berat yang sungguh sangat renyah. Tapi benarkah ini kamu? Kamu yang senantiasa memberi warna di hidupku yang meninggalkanku begitu saja dengan sebuah pesan yang kukira lelucon belaka? Otakku terus berputar. Mulutku tercengang, Lidahku kelu seakan tak bisa berkata lagi sampai akhirnya orang yang belum jelas itu memanggil namaku dengan lantangnya.
“Dodit! Iyakan Dodit?! Bukan mbak Sherlyn?”
“untunglah kamu masih mengingatku Zel”
“sungguh ini kamu? Haruskah kali ini aku mempercayaimu lagi setelah
Kamu meninggalkanku begitu saja? Haha” sudut mataku mulai basah
“Iya. Sungguh. Maaf untuk waktu itu. Em.. Kamu sekarang di mana Zel?”
“Di bis, baru pulang kerja. Kenapa?”
“Aku pulang ke Malang sekarang, aku pingin ketemu kamu!”
“Kamu pulang ke Malang?! Kamu bukan jelangkung kan? Datang tak pernah
Diundang lalu pulang tak pernah diantar kan?”
“Maafin Zelda. Yang penting aku sekarang pulang kan. 30 menit lagi aku
Tiba di Stasiun Kota Baru.”
“Oke, aku bakal putar balik ke sana! Tunggu!
Tut..tut..tut aku meninggalkannya tanpa salam. Yang kupikirkan dia pulang pulang dan pulang. Langkahku tak berhenti mencari bis lagi. Syukurlah tak lama aku mendapatkannya. 20 menit aku menghabiskan waktu di bis dengan perasaan yang menggebu. Bertemu dengannya dan bertemu. Terselip syukur untuk hari ini, Tuhan telah memberiku kejutan demi kejutan yang sangat berharga.
Ruang tunggu. Aku langsung berlari kecil menghindari hujan yang belum reda juga. Duduk di sudut ruangan membuatku sedikit lebih hangat dengan pakaian yang hampir kering itu. Lagu Afgan-Dalam Mihrab Cinta berputar diotakku. Syukurlah masih ada earphone jadi tak perlu jengkel menunggu lama seperti ini.
“Hai Zel. Bangun dong!” suara lembut itu membangunkanku dari tidur pendek itu.
“Dodit!!! Aku merindukanmu! Sungguh!”
Aku tak bisa berucap banyak lagi hanya air mata rindu yang bisa mengartikan semuanya. Jantungku serasa berhenti berdetak. Jarum jam juga berhenti. Ruang tunggu itu menjadi hening yang kurasa hanya ada diriku dan Dodit.
“Aku juga sangat rindu sama kamu. Tapi, kamu melupakan satu orang”
“Siapa?”
“Hai Zeldaa! Ehem lengket banget!”
“Mbak Sherlyn! Aaaaa Ya Tuhan kamu kak! kenapa kalian tak mengabariku kalau mau pulang? Setidaknya aku bisa menyiapkan makanan atau yang lainnya”
“aku berkumpul seperti dulu sudah bahagia Zelda” kata seorang cowok
Bernama Dodit Amiruddin itu.
Ya Allah, bagaimana Engkau mengubahnya menjadi sosok yang sangat menghanyutkan wanita ini. Senyumnya tak berkurang sedikitpun. Bisakah aku berbagi kisah, saling memberi warna lagi seperti dulu? Aku rindu semuanya.
“Zel, pulang yuk mumpung ada bis. Kalau kamu bersedia aku akan
 Mengantarmu sepulang dari rumahku.”
“Baiklah pangeran!”
Pandangan mata kita sempat terkunci beberapa saat. Saling beradu menikmati semua perubahan wajah satu per satu. Rambutmu masih sama seperti dulu. Lurus, rapi. Itu yang selalu membuatku iri denganmu. Bola mata coklat kehitaman itu membuatmu lebih indah. Betapa besar karunia Tuhan.
“Zelda, bagaimana bisa kamu basah kuyub seperti itu? Bukankah..”
Tangannya yang lembut menyentuh ujung kepalaku dengan tulus.
“Dodit.. bagaimana menurutmu jika bertahun-tahun seseorang tak
mengubah perilaku buruknya?”
“Tapi, bukankah kamu takut hujan setelah peristiwa setahun yang lalu?”
“Kau masih mengingatnya?” wajahku berpaling dari jendela mendengarnya.
“Tentulah! Setiap kali hujan Dodit pasti akan menanyakan padaku apakah
kamu masih takut hujan? Siapa yang akan melindungimu sekarang? Dan..”
Semua menjadi hening seketika. Aku masih berfikir apakah benar selama dia di sana masih memikirkanku? Aku yang selalu merepotkannya? Atau dia hanya ingin direpotkan lagi?
“Setahun yang lalu. Kamu, mama, papa, dan adik kamu liburan ke Batu.
Awalnya semua berjalan dengan lancer. Tapi semua berubah ketika kalian
memilih pulang. Di sekitar Pujon, hujan turun dengan ganasnya. Jalanan
berubah menjadi licin. Tak lama hal yang tidak diinginkan terjadi. Sebuah
truk melintas dan rem mobilmu blong..”
Aku memotong penjelasannya yang justru rasa trauma pada hujan itu kembali datang.
“Karena itu aku takut dengan hujan, karena hujan aku harus kehilangan
Ayahku.” Air mataku tak bisa lagi menahan air mata yang menerobos, memaksanya untuk segera meluncur.
“Tapi kamu sekarang sudah tak takut lagi?”
“Karena mu Dit. Kepulanganmu ke Malang membuat aku kembali berani mencoba hal yang aku benci.”
“Aku akan selalu ada untukmu. Aku menahan rinduku selama dua tahun terakhir ini, Selama kita tak saling tatap muka.”
“sama.” Jawabku singkat, untunglah di dalam gelap. Aku bisa menyembunyikan pipiku yang merah.
“ada rasa yang terus berkembang”
“Apa?”
“Aku mencintaimu, cinta lebih dari seorang teman lama”
“Sama. Setelah dua tahun aku menunggumu pulang kini rasa itu semua terbayar.”
Betapa beruntungnya aku. Sudah tak takut lagi dengan hujan, aku mendapatkan lagi apa yang kubutuhkan dan inginkan. Semua berjalan dengan normal. Itulah penantian, terkadang di selanya membosankan dan ketika yang dinanti benar-benar kembali semua terbayar lunas. Penantian indah bila yang dinanti bukan seorang pengecut dan tepat untukmu.

Jumat, Mei 16, 2014

DRAMA EVERYWHERE!!

Hai temanss..Pada kesempatan kali ini saya akan membicarakan tentang..ehm *ngebenerin dasi. Padahal gapakek dasi. Ya udah gausah basa-basi nanti ngga jadi *lhooo. Jadi ceritanya begini..Pada suatu hari di sebuah sekolah tepatnya di kelas sedang berlangsung..Ahh terlalu lama -_- Cekidot aja deh.
Beberapa minggu yang lalu kelas saya mendapat tugas dari guru B.Inggris tercintahhh kami *jeng jeng sebenarnya tidak hanya kelas saya tetapi seluruh kelas 8 yang diajar beliau dari kelas a-f. Kita diberi waktu kurang lebih 1 bulan untuk menyiapkan semuanya. Dari anggota kelompok sampai kostum. Alhasil aku satu kelompok sama teman-teman terkeceh saya sebenarnya tidak kece mungkin karena ada saya jadi terlihat kece *blurr. Alhamdulillah saya termasuk beruntung meski tidak terlalu beruntung karena anggota kelompok saya adalahhhh.. *suara drum Bagas, Teli, Laga, Andharu, Lely, dan Laely. Nah masalah Drama yang ditampilkan waktu itu ketua kelompoknya maju ngambil lotre yang pilihannya ada Jaka Tarub, Cinderella, Timun emas, Romeo and Juliat. Sebelum saya maju menghadapi kenyatan saya berdoa biar engga dapet Romeo and Juliet sama Cinderella. Alhasil do'a saya terijabah ya mungkin karena saya termasuk orang teraniyaya *naudzubila. Akhirnyaa saya mendapatkan...Jaka Tarub brooo. Awalnya saya sempat berfikir drama kali ini bisa jadi atau tidak. Peristiwa ini membuat hamba flashback pada kegagalan drama b.indonesia Ya Allah..Dalam satu bulan kita cuma latihan sebanyak 3 kali, 3x dikit apa banyak sih? Nah yang bikin gregetan waktu latian yang kedua yang dateng cuma 4 booo' saya, bagas, lely, sama andharu doangg. Padahal tampil tinggal 5 hari lagi. Tahukah anda sampai detik itu juga semuanya masih belum hafal total. Latian terakhir hari selasa sumpah itu pertama kalinya kita latiannya niat meski sebelumnya ada rasa ketidak niatan. Keesokan harinyaa.. masih ada yang belum hafal padahal semua sudah kebut semalam. Untung aja kelompok saya dapat giliran terkahir waktu jam LPT. Dan subhanallah saya terharu melihatnya. Akhirnya termasuk dalam kelompok sukses *ciyee meski ada beberapa kalimat yang lupa dan malapetakanya waktu mau tampil backsound-nya ilang kelesss.. Ini ada beberapa fotonya loo..

 yang kiri sendiri saya = Nawang Wulan, Andharu = N.Asri, Lely = N. Sekar, Laely = N.arum
ini Laga, nah ini King-nya sama Guruminda :D
                                                           ini waktu di air terjun
                                                  ini waktu adegan minta tolong :3

                                   nah teman-temans yang baju putih itu bagas itu Jaka Tarubnya loo haha

                                                            Ini arif kelompok lain juga
                                   ini bukan kelompok saya sih, namanya Ridho cantik kan yaa?
itu yang kiri saya, yang tengah cantik juga kan? dia cowok loo hihi itu ghandur yang kanan sendiri raras. Udahan yaa, nanti kapan2 lagi :D

Rabu, Mei 07, 2014

Stand By Me

 Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Rintik hujan membasahi sebagian tubuh lelaki yang berusaha melindungi wanita cantik itu. Bola matanya berwarna hitam kecoklatan. Hujan itu menerobos tak memberi keduanya celah meneduh sedikitpun.
"Fa, sampai kapan kita akan seperti ini?"
"sebentar lagi, setelah hujan ini reda aku akan memulangkanmu." wajahnya mendongkak ke atas memastikan hujan segera reda.
"Bukan itu yang aku bahas"
"Lalu?"
"Hubungan kita. Apakah kamu tidak capek selalu keluar denganku dengan sembunyi-sembunyi?"
"Tidak akan, sampai kapanpun aku akan berada di sampingmu"
Kini tanganya menggenggam erat jemari Zie.Erat dan erat.
"Bagaimana jika ibumu tetap bersikeras menentang hubungan kita?"
Matanya tak lagi kuasa menyembunyikan bulir berlian yang perlahan menerobos sudut matanya bersama derasnya hujan.
"Akan tetap kuusahakan. Percayalah. Yang kuminta Kamu slalu di sini. Stand By Me."
Pelukan hangatnya membuat hujan kali ini benar-benar tak dirasakanya.
"Pasti. Meski ibumu akan tetap memindahkanmu ke Jerman aku akan selalu mendukungmu. Dan percayalah, aku tidak akan seperti mereka yang menyesali pertemuan yang berakhir perpisahan. Aku mencintaimu!"
"Berdirilah untuk meraih cita dan cinta kita. dan yakinlah Love is having the courage to stand up for yourself when you are not wrong."

Tak Secepat Jatuh Hati

 Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

 Sinta seorang gadis yang berambut hitam pekat itu menarik lengan teman lelakinya.
"Vino! Hati-hati bahaya. Teledor banget?" celetuknya.
Tetap saja Vino tak menghiraukan kata yang diucapkan temannya itu. Dia terus menghentikan beberapa bis. Tapi tak satupun berhenti di depannya. Dengan jengkel Vino berteriak sekencang mungkin meminta sebuah taksi yang baru saja melintas di depannya berhenti.
Mereka lalu masuk ke dalam taksi itu. Alunan lagu dari tangga-Cinta tak mungkin berhenti memenuhi sudut-sudut kendaraan bercat biru itu.
"Kamu kenapa keburu banget? Ngajak dicuekin. Gajelas lagi" Protes Sinta sambil membenahi hijabnya yang sedikit longgar karena tertiup angin.
"Udah diem aja. Nanti kamu juga tau kok."
"Pak, berhenti di sini aja. Ini uangnya pak, kembaliannya ambil aja" kata Vino ramah
Kali ini Sinta hanya diam mengikuti langkah Vino menuju sebuah restoran yang terdapat di sekitar Bintaro. Sinta benar-benar bingung dengan ulah temanya yang tidak jelas itu.
"Tiba-tiba mengajak pergi tapi sekarang dicuekin" gumamnya dalam hati
Seorang pelayan berpakaian hitam putih mendekati mereka dengan membawa menu pesanan.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu dengan ramah. Senyumnya indah
"Seperti yang saya rencanakan mbak"
"Baik, saya ambilkan mas"
Pelayan itu membalikkan badan dan meninggalkan mereka. Tak sampai 5 menit dia kembali membawa nampan dengan kemolekan tubuhnya itu. Anggun.
"Sin, ada yang mau aku omongin sama kamu" tanganyya tak lagi berada di kedua saku melainkan mencengkeram tangan Sinta.
"Kamu gapapa kan Vin?"
"Aku cinta kamu, sejak dulu, sejak pertama kita ketemu. 5 tahun yang lalu. Gak mudah nyimpan perasaan selama itu kan Sin? Aku mau kamu jadi pendamping hidupku" sambil berlutut dan menyerahkan isi nampan yang ternyata adalah cincin berlian yang di desain khusus oleh desainer Tokyo.
"Sori Vin, tapi kamu tau kan. 1 bulan lagi aku nikah. Nikah sama sahabat kamu. Aku gabisa maaf"
"Sin sampai kapanpun aku akan mencintaimu. Karena aku tau cinta ku ke kamu tidak akan berhenti secepat aku mencintaimu! Ingat! Semoga bahagia" teriaknya setelah Sinta pergi meninggalkannya.

Mungkin Memang

Masih ingatkah dikau pertemuan beberapa tahun lalu? Pertemuan singkat yang ternyata membawa kita dalam ikatan yang hangat. Aku bersyukur kepada Tuhan telah memberi kesempatan bertemu dengan pemuda sepertimu. Kamu. Aku tidak akan menyesali pertemuan seperti mereka. Menyesali pertemuan sakral yang berakhir peepisahan. Karena tanpa sebuah pertemuan yang dikarunia Allah SWT aku tidak akan menemukan orang sepertimu.

Dulu, aku merasa aman bersamamu. Aku bahagia mempunyai seorang sahabat sepertimu. Aku tak pernah memperhitungkan waktu jika itu bersamamu. Layaknya aku ingin selalu bersamamu. Dulu. Bahkan dengan cara apapun aku menghemat hanya demi membeli pulsa agar sesering mungkin berkomunikasi denganmu. Setiap saat aku bisa melihat senyummu itu. Aku juga rela bertingkah konyol hanya ingin melihatmu mengijinkan senyum itu hadir, hanya ingin merasakan getaran pada hatiku ketika mendengarmu tertawa lepas. Denganmu aku saling bertukar cerita. Kamulah salah satu lelaki yang memotivasi hidupku, selain ayah dan kakakku. Aku ingin bersifat tegar sepertimu tapi selalu saja gagal. Aku bisa menyembunyikan duka, meski akhirnya selalu gagal. Sampai perpisahan itu terucappun aku tak melihat pesan singkatmu itu menangis.

Aku tidak marah pada Tuhan karena aku tau Dia selalu mkskemberikan hambanya yang terbaik. Aku hanya marah kepada diri sendiri. Kenapa aku tak mengenalimu sejak dulu? Jauh jauh jauh sebelum perpisahan itu terjadi. Aku memang baru mengenalimu setahun sebelum semua pergi. Entahlah, aku sudah mulai lupa dengan pertemuan pertama kita. Terkadang aku mengambil hikmah dari petemuan terlambat itu, Tuhan mencintaiku juga mencintaimu, jadi Tuhan memberi waktu sesingkat itu agar ketika perpisahan itu terjadi luka itu tidak terlalu sakit. Aku sahabatmu. Kita berpisah ketika aku memendam sebuah rasa yang sampai saat ini belum terpecahkan. Saat itu aku hanya berpikir dalam hembusan angin tipis yang membelai kerudungku dalam. Aku linglung memikirkan apa yang kurasa. Hanya sebatas simpati pada seorang sahabat yang akan meninggalkanku atau ini benar-benar rasa cinta. Aku melepasmu pergi untuk mencari ilmu.

Sampai saat ini pun kau belum tentu tau apa yang kurasa karena tak pernah kuungkapkan sekata pun rasa ini. Selalu saja kupenjara karena aku takut akan melukai persahabatan ini. Hampir 2 tahun kau pergi. Lama rasanya. Namun, rasa itu tak juga ikut memudar seiring bertambahnya waktu. Justru terus bertambah. Akhir-akhir ini aku selalu memikirkanmu. Setiap malam selalu ku titipkan rasa rindu kepada Tuhan. Dalam do'a yang kupanjatkan selalu ada dirimu. Tuhan jaga rasa ini sampai pada waktu yang kau beri.

Maaf aku memang penghianat. Tak pernah mengakui apa yang kurasa. Aku juga menghianati sebuah persahabatan yang suci. Aku coba berpaling dari rasa ini hinggap dihati yang lain selalu saja sama, kembali padamu. Beribu maaf aku pinta padamu. Maafkan aku yang tak bisa menjaga persahabatan ini, yang tak bisa menjaga perasaan ini hingga menjadi liar. Aku jua memohon pada Tuhan agar tidak salah memahami rasa. Yang kutakutkan semua itu hanyalah rasa rindu yang tertumpuk yang ku salah artikan sebuah cinta.

Entah yang ku ketahui tentangmu sampai detik ini benar adanya atau tidak. Aku melihat namamu dalam tweet perempuan yang tidak mengharapkanmu juga. Kuulangi aku memang rapuh. Hanya tulisan yang belum tentu kebenaranya saja air mata itu mulai berselancar di pipiku. Tubuhku serasa dihujani beribu duri. Hati ku tersayat. Baru saja tawa itu terhenti tapi kini berganti dengan bulir berlian yang menghujani pipiku. Tuhan, kenapa setiap aku bahagia selalu ada duka yang mengiringi? Apakah kamu memang? Mungkin memang kamu tercipta untuk mewarnai hidupku dalam bentuk seorang sahabat. Tapi, aku meminta untuk saat ini saja. Nanti.. jadikan ia orang yang berada di depanku setiap kali aku beribadah kepadaMu. Jadikan dia Imamku. Hanya do'a yang bisa kupanjatkan sebagai seorang wanita..

Semoga ini dapat menjadi renunganmu. Sahabat.
Sungguh aku mencintainya
Aku mencintainya lebih dari seorang sahabat
Aku, gadis tolol yang tak tau trimakasih 
untukmu (GAZ)

Minggu, Mei 04, 2014

Selamat Pagi Pangeran Berjarak

Cericis burung menyambut hangatnya mentari. Menyambut awal liburan kali ini. Dinginnya udara luar menusuk tulang punggungku dengan perlahan hingga memaksaku menarik selimut sampai menutupi kepala. Suara Adzan sayup-sayup mulai terdengar memaksaku segera bergegas ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Namun diri ku masih terasa berat masih ingin tetap tinggal di kasur. Seperti biasanya, kutelusuri meja kecil yang tepat berada sebelah kepalaku menarik perlahan kacamataku dan tak lupa HandPhone. Jari tanganku bekerja mencari gallery dan membuka foto mu. Untuk sekedar meredakan rasa rindu dan mengucap "Selamat pagi pangeran yang tak lagi dapat kusentuh jemari"

Tetesan air wudhu masih mengalir di pelipis. Rasa kantuk itu tak lagi terasa justru membuatku lebih bersemangat. Hembusan angin menggoda gorden berwarna hijau tosca yang tergantung indah. Jendela kamarku tepat berada lurus dengan jendela kamarmu. Dulu kau selalu mewarnai pagiku dengan senyum renyahmu. Sekarang? semua hanya tinggal bayang semu. Tapi aku masih ingat bagaimana kau menyapaku saat itu.

Kuambil sepatu olahragaku lalu mengeluarkan sepeda dari garasi. Ku kayuh sepeda dengan hati berbunga meski terselip kerinduan teramat dalam. Taman. Tempat bersejarah bagiku di mana saat itu pertama kali pertemuanku dengannya dan juga tempat terakhir kalinya pertemuanku. Duduk di kursi panjang tepat berada di bawah pohon kenangan membuat semua memory di otakku kembali direfresh. Semua terbayang. 

Aku yakin tidak akan menangis lagi di tempat ini. Hanya saja perlahan sudut mataku mulai basah. Dada ku serasa sesak. Terdengar bagaimana tawa renyah itu tercipta. Bagaimana dengan mudahnya aku melihatmu mengembangkan senyum sempurna itu. Terbayang saat kau memperkenalkanku pada sosok yang kau cintai dan saat itu hatiku seharusnya bahagia melihatmu sudah dewasa dan memilih yang terbaik menurutmu. Tapi tidak waktu itu. Hatiku seperti dicabik, dihantam berjuta meteor, lalu meninggalkanmu bersamanya di taman itu.

Dan di situ aku juga melihat kau benar-benar rapuh. Matamu berlinang air mata menyesali perbuatanmu yang terlalu tergesa menganggap cinta mu sejati padahal itulah cinta palsu. Kau hanya menyandarkan kepalamu di bahuku. Tak seperti kau biasanya yang selalu tegar. Mataku mulai sembab mengikuti derita yang kau rasakan. Sejak saat itu aku takut kau berkenalan dengan cinta lainnya lagi.

Terngiang kenangan lain.. Saat kau mengucap kalimat perpisahan pada ku. Kau memilih mengatakan padaku tepat sebelum kau berangkat dengan menenteng kopor. Jujur, saat itu aku benar tak kuasa hatiku menerima kenyataan itu. Aku memberontak. Menagih janji yang dulu kau ucap, kau akan melindungiku selalu sampai kapanpun, kau takkan pernah meninggalkanku sendiri, akan selalu mewarnai hari-hariku, dan yang lainnya. Kau hanya terdiam memelukku dengan hangat. Aku tau kita tak lagi tegar. Nada bicaramu mulai bergetar membuatku semakin tak kuasa. Ditempat itu terakhir kalinya kita mengucap janji setia sebuah persahabatan. Kau meninggalkanku dengan langkah berat.

Pesawat yang kau naiki sudah terbang landas menembus puing-puing awan. Aku hanya bisa duduk bersimpuh. Andai saja saat itu aku mengatakan apa yang ku rasa, mengutarakan isi hatiku, mungkin lain cerita. Tapi aku sudah mengucap janji setia persahabatan. Kau pergi meninggalkanku untuk mendalami agama islam. Orang tuamu tampak tegar tak seperti aku dan kau. 

Perlu kau tahu pangeran. Masih ingatkah dengan janji terakhirmu? "Aku akan pulang jika aku sudah pantas mengajarimu ilmu islam dan dapat melindungimu. Insyaallah". Sampai saat ini aku belum diberi kesempatan menemuimu pangeran. Mungkin ini salahku. terlalu sibuk di luar sana sampai beberapa kali kau pulang aku tak sempat menemuimu. Pangeran maaf kali ini aku mengingkari janji terakhir kita. Maaf aku tak bisa menjaga perasaanku padamu sampai akhirnya perasaanku menjadi liar. Aku bingung apa yang kurasa. Hatiku merindukan hadirmu setiap saat. Aku bingung atas yang kurasakan. Inikah cinta atau hanya sebatas simpati. Jika aku boleh memilih inilah Cinta. Akan kutunggu hadirmu tetap di bawah pohon itu..

Dari seorang yang selalu menunggumu pulang

Sabtu, Mei 03, 2014

HITAM PUTIH NEGERI Oleh Sinna Sherina F



Kutemukan Negara yang mulai miskin moral
Fantasi kekayaan tikus-tikus pemerintahan
Lambat laun moral bangsa terkikis, kebodohan memuncak, kemiskinan merajalela
Krisis kepercayaan kepemimpinan membludak
Seakan negeri tak lagi punya panutan
Di tengah intregritas bangsa tergadai. Maraknya provokasi
Pencitraan yang lebih nyaring dari kenyataan
Bagai dewa dan hamba. Bagai bumi dan langit
Tanah air kian jauh dari merdeka
Kita sedang berperang. Kita sedang dijajah
Kepala tanpa helm baja,
Tangan tanpa pedang panjang.
Moral dan iman tameng pertahanan
Anak-anak bermoral menentang kesengsaraan
Ribuan air mata membuncah. Akal kusut
Bersama kelicikan, kita berada dalam baying suram
Hanya di Negara lintah
Negara dijadikan ladang perebutan uang perkaya diri
Hukum tajam ke bawah. Tumpul ke atas
Bumi ini butuh kepemimpinan hukum, bukan berpemimpin uang
Andai pemimpinku lebih tegas
Tidak akan hidup tikus-tikus berdasi
Andai aku memegang tanah air ini
Tercapailah keadilan, ketentraman bumi pertiwi
Generasi muda tunjukan jiwa patriotism
Sampai martabat bangsa kembali di pundak
Sertakan merah putih hati generasi
Semaikan benih sejarah bekal cinta tanah air
Kelak kita tak terjebak dalam kubang mendung
Matahari tersenyum, pahlawan tersenyum
Melihat darahnya tak terbuang sia-sia

SALIB DAN TASBIH



 "Aku mau ke Gereja. Kamu mau bubur ayam?"
Sepucuk pesan yang selalu menggetarkan handphoneku ketika sinar mentari mulai mengintip, menerobos melalui celah-celah gorden yang tertiup angin. Udara dingin memaksaku menaikkan selimut sampai menutupi kepala. Maaf pesanmu takku gubris sedikitpun. Tubuhku termakan dinginnya udara yang menusuk tulang. Untuk kedua kalinya alarm dan handphone berbunyi lalu bergetar beriringan. Harmonis. Jari-jemari tangan dengan cekatannya bekerja sama mematikan alarm dan mencari handphone yang sedari tadi bergetar. Menyipitkan mata sampai mata benar-benar menangkap kalimat yang terpampang di layar.
    Jariku mulai bekerja mengotak-atik abjad dengan wajah penuh semangat. Memintanya tak perl repot membelikanku bubur. Cericis burung bersahutan mengiringi rasa syukur, dengan sangat khidmat. aku bersyukur masih bisa bangun di pagi yang indah ini, masih mendengar ocehan khas mama, masih melihat pesan singkatmu menggetarkan handphoneku seperti Minggu pagi biasanya.
    "Sepulang kebaktian, aku jemput kamu Zia. Aku pengen sarapan bubur ayam sama kamu. Mau?"
Entah angin apa yang tiba-tiba meniup bulu kuduku sampai selimut yang tadi menutupi tubuhku sudah berpindah di pojok tempat tidur. Otakku langsung bekerja. Memerintahku berlari dan langsung menyambar gagang pintu kamar mandi. Shower hidup. Dengan iramanya air bergantian mengguyur ujung rambut sampai kakiku yang entah sudah berbau seperti makanan kemarin mungkin. Dinginnya air berbaur dengan dinginnya udara. Cericis air berjatuhan di lantai kamar mandi mengurangi kesunyian seisi rumah. Terlintas di benak, ini terlalu pagi untuk bergulat dengan udara yang begitu dinginnya tanpa tertolerir sedikitpun. Tanpa pikir panjang aku menghiraukan.


    Kurebahkan diriku di atas karpet polkadot dengan bulunya yang seperti panda. Tak lupa sahabat karibku. Gitar warna hijau tosca dengan kolaborasi batik di pojok kanan atasnya. Jari seolah sudah hafal tanpa disuruh memainkan lagu yang selalu kumainkan setiap kali. Ungu-Ingin Selamanya. Hampir kumasuki seluruh isi lagu itu. Terbayang beberapa hari  lalu. Pembicaraan yang menarik. Cinta dan Agama. Lebih dari satu setengah tahun kita menjalin hubungan ini. Jujur baru kali ini aku berpacaran dengan seorang lelaki dengan waktu seperti ini. Aku sangat menikmati perbedaan kita. Menikmati toleransi kita. Sebelumnya aku tak pernah mendapat Cinta yang setulus ini. Perbedaan agama. Kita sudah dewasa sudah bisa menentukan pilihan masing-masing. Aku memilih mencintaimu karena aku sudah dewasa.


    Saat itu kamu berkata "Aku akan melakukan apapun jika itu membuat kita bahagia. Tapi entah untuk Agama. Bukannya aku tidak berani atau tidak tertarik dengan ISLAM. Hanya saja aku masih butuh persiapan mental, harus berani menanggung resiko besar akan apa yang keluargaku lakukan atas perbuatanku. Aku tidak mau menjadi seorang mualaf hanya karena ingin menikahi kamu lantas hati dan keyakinanku masih tertinggal di Agamaku. Aku harus menjadi seorang mualaf yang mampu menjadi seorang imam bagimu kelak. Jika Tuhan menjizinkan." Sebagai seorang wanita yang bisa dibilang tegar. Kali ini aku menitihkan air mata di hadapanmu. Air mata itu sudah tidak menetes melainkan sudah mengalir deras di pipi. Hanya bisa tertunduk . Lalu kau berlutut di depanku. Tanganmu mungkin diciptakan mengusap air mataku kali ini. Dadamu yang bidang ditakdirkan memelukku erat sampai kepalaku tenggelam dalam hangatnya ketulusanmu. Aku sangat mencintai perbedaan kita. Lagi-lagi aku menitihkan air mata hanya untuk mengingat kejadian dua minggu yang lalu. Hati kembali sesak ketika mengingatmu sekarang sedang berada di rumah Tuhanmu mungkin sedang bercerita dengan seorang pastor tentang cinta kita dan perbedaan atau kau bercerita kepada Tuhanmu dan melipat tangan meminta diberi jalan untuk cinta kita.


    Terdengar dari jauh suara sepeda motormu tak lama suara beratmu terdengar telinga. Bukan lagi PERMISI yang di ucapkan melainkan Assalamualaikum. Langsung ku sambar kerudung yang sudah kupersiapkan. Kerudung hijau tosca sederhana tapi nyaman dipakai yang kamu belikan saat kerudungku basah terkena derasnya air hujan sementara tugas kita masih banyak. Aku berlari kecil menuju gerbang tak lupa mengunci rumah karena rumah dalam keadaan kosong.


    "Kamu cantik hari ini, Zi" Senyum Nathan melebar. Serasa diriku sudah dipenuhi lagi dengan semangat yang menggebu. Sebuah lengkungan di bibir dengan lesung pipi yang manis. Senyum yang sempurna.
"Aku gaperlu muji hari ini. Kamu tiap hari udah ganteng Nat"


Kamu menggandeng tanganku dalam. Beribu arti dibaliknya. Kita bukan sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta lalu lupa norma. Genggaman tangan ini bukti bahwa kami takut untuk saling kehilangan. Bukti keseriusan kita.


"Di gereja tadi ngapain?" 
"Ibadah, curhat sama pastor, berdoa"
"curhat? curhat hubungan kita lagi?"


"kamu kep banget. Biasanya kepo itu tanda sayangnya makin ningkat" guraunya sambil mengelus kepala
"Iya. Kenapa? emang setiap aku nafas cintaku ke kamu nambah"


    Seperti biasa Nathan memesan bubur ayam dua. Entah sejak kapan aku menyukai bubur ayam padahal sebelum aku mengenalinya paling anti dengan bubur. Dapat disimpulkan setidak enak atau setidak suka pada hal itu kalau dilakuin bareng sama orang kesayangan pasti nikmat.
"Kamu mau ke mana lagi?" tanya Nathan bersamaan menyodorkan helm yang berada ditangannya


"Terserah kamu, kamu mau kemana lagi?"
"Kamu engga sibuk? kalau enggak temenin beliin hadiah buat ulang tahun mama boleh?"
"Boleh banget! Yuk"
    Dan inilah saat yang kutunggu menyalurkan perhatianku yang sama persis kuberikan pada Nathan saat dia ulang tahun. Sesuai kesukaan Tante Christine aku menyarankan hadiahnya tas dan anaknya menyetujui. Lalu kita memutuskan untuk pergi ke toko tas milik Tante Risma adik mamaku. Kita sudah ditakdirkan sehati mungkin sampai memilih tas pun kita menjatuhkan hati pada pilihan yang sama. Tas berwarna coklat manis yang simple tapi menampung banyak isi dan harganya juga tidak terlalu tinggi. Aku meminta bantuan Tante Risma sekalian membungkusnya semenarik mungkin.


    "Aku aja bangga punya kamu. Apalagi mama kamu ya? memilikinya permanen"
"Emang kamu ngemilikin aku engga permanen?"
"Kalau Tuhan menghendaki semoga permanen..hihi"
"Harus! harus permanen. Sekarang mau kemana lagi?"
"Pulang aja. Nanti kamu dicariin Tante"
    Sampai rumah ternyata keluargaku sudah mengisi rumah. Nathan lalu meminta izin untuk pulang dan tanpa ku ketahui dia sudah memesankan bubur ayam untuk keluargaku terutama untuk adikku yang maniak bubur. Selalu saja dia pandai mengambil hati keluargaku walau keluargaku selalu saja ragu dengan hubungan kita.
    "Habis dari mana? keluar sama Nathan lagi?"
"Assalamualaikum dulu maa..Iya. Ini dari Nathan" sambil menyodorkan kantong plastik yang berisi bubur ayam
"Pasti bubur ayam!" Sahut Keke. "Mas Nathan emang pinter ga salah deh kak..hehe"
"Kamu masih sama Nathan, Nduk?"
"Kenapa setiap kali aku keluar sama Nathan pertanyaannya begitu?"
"Mama cuma khawatir sama kamu. Sekarang banyak yang jadi mualaf cuma karena mau nikah. Kamu tau hukumnya?"
"Tau ma, tapi Nathan enggak kaya yang mama bayangin! Mama pernah muda kan? pernah ngalami cinta? masa remaja ke dewasa juga kan? Apasalahnya kalau aku menjalin cinta dengan seorang yang berbeda agama? Tuhan menciptakan manusia berbeda dan tujuannya bersatu. Apa aku sama Nathan gak bisa disatukan?"
"Fazia, api engga bakal bisa bersatu dengan air, Nak"
"Maaf ma" Aku berlari menuju kamar dan menguncinya entah kenapa bisa aku membentak mama seperti itu.
      Apakah cinta dan perbedaan agama benar-benar tak dapat disatukan? Salahkah jika aku beradu kasih dengan lelaki yang beribadah di gereja? Aku tau kalau Salib dan Tasbih berbeda salah jika kita punya rasa yang sama? Kalau aku pakai jilbab dan kamu menggenakan kalung salib salah? gaboleh cinta? Aku tau kita dipersatukan dalam karunia Tuhan yang berbeda!


    Keesokan harinya Nathan menemuiku di lapangan voli sebelum dia berlatih basket dan aku berlatih lomba PMR di lapangan voli. Dengan wajahnya yang masih tetap seperti hari kemarin. Pantulan senyum yang merambat melalui udara. Pandangan kita sempat beradu terkunci di udara saling menebak apa yang akan di katakan.


"Aku mau tanya serius sama kamu Zi"
"Apapun aku selalu serius Nath"
"Kamu beneran mau jadi pendampingku saat ini dan selamanya?"
Seolah badanku tertusuk duri halus. Lidahku kelu, tubuhku kaku, kuberanikan menatap matamu. Saat ini aku benar-benar tahu letak keseriusanmu. Aku lagi-lagi menjatuhkan air mata.
"Kalau aku engga beneran kenapa aku masih berjuang meski dalam kesakitan, Nathan? Kalau Tuhan mengizinkan, Agama mempersatukan" aku benar tak lagi mampu menahan tangis yang terus mencabik hati dan iman seperti ini

"Kamu masih ingat kata-katamu? kamu bakal optimis berhasil sama hubungan kita di usia yang menginjak 25 tahun ini! Dan sekarang impian kita benar-benar terwujud Zia! Terwujud"


"Maksud kamu Nath? aku beneran engga ngerti"


"Orang tua ku sudah mengizinkan aku menjadi imam mu, menjadi seorang mualaf. Mereka yakin aku sudah dewasa kalau impianku menikahimu, mereka mendukung. Tanggung jawab mereka akan pilihanku sudah selesai. Selakyaknya aku dilahirkan dalam kondisi putih suci maka terserah mereka mewarnai dengan warna apa. Sekarang aku benar-benar yakin akan pilihanku Faz"


    Tetesan air mata bersatu dalam diam. Kutenggelamkan kepalaku di dadanya yang bidang. Inilah jawaban aku bertahan, berjuang dalam kesakitan yang kian menjadi. Terimakasih Tuhan telah kau persatukan. Aku yakin Engkau mencintai penyatuan perbedaan. Syukur syukur syukur kupanjatkan dalam sholat tahajud kali ini.
    Keluargaku juga sudah mantap akan keputusan Nathan yang dengan beraninya mendatangi dan mengungkapnkan semua pada papaku. Syukur beriringan dengan rasa haru yang membuahkan bulir air mata ketika dirimu mengucap syahadat dua kali dengan lancar sebelum acara lamaran di mulai. Keluarga kami bersatu dalam suasana harmonis. Dua Agama yang bersatu dalam ikatan cinta dan keluarga besar. Terimakasih Tuhan. Perjuangan dalam Tangis ini Cinta Sempurna bagi Kami. Kan ku bimbing Nathan mendalami Islam sampai dia benar-benar menjadi seorang Imam yang patut diteladani. Seperti Papa. Sekarang tak lagi ada yang berbeda Cintaku semakin menjadi terhadapmu. Ku tahu bahwa Cinta takkan meninggalkan.
Tamat..