Malam ini tak seperti malam biasanya. Bintang tak lagi menampakkan hidungnya, gumpalan awan menutupi sebagian bulan. Bau tanah mulai menerobos lubang hidung. Hanya terdengar nyanyian jangkrik dan kodok beriringan. Hangatnya kopi susu tak lagi mampu menghangatkan tubuh yang mulai kusut dan mati rasa.
Menikmati karuniaNya di balkon rumah. Mataku tertutup perlahan, semilir angin membuatku semakin bersyukur. Aroma tanah membawaku kepada penyesalan atas apa yang pernah terjadi. Beberapa tahun yang lalu, kau menjadi seorang temanku yang kadang ku anggap lalu tidak. Begitu seterusnya. Betapa bodohnya aku memanjakan sifat ego ku, memanjakan gengsiku. Kau selalu berada di sampingku, kapanpun aku butuh kau selalu siap. Meski tengah malam sekalipun. Tapi aku menganggapmu ada ketika aku jatuh, bahkan terkadang aku tak pernah menganggapmu ada. Kau yang selalu mendukungku dari sisi manapun atas apa yang aku lakukan. Kau membenarkan yang salah, juga menyalahkan yang salah. Jika dibandingkan, kau dengan cowok yang aku pertahankan memang kau jauh lebih baik darinya. Entah atas dasar apa aku bisa buta seperti itu. Kau selalu mendukungku saat aku lomba atau apapun tapi dia selalu melarangku mengikutiku kegiatan apapun jika tidak bersamamu. Aku masih ingat saat itu kau berkata
"Begitukah caranya mencintaimu? melarangmu lebih dekat dengan kesuksesanmu? masa depanmu? Jika kau mengikutinya, kau wanita terbodoh yang singgah di hatiku sampai detik ini! Dia belum tentu menjadi masa depanmu, dan kegiatan seperti itu mendekatkanmu pada masa depanmu!"
Kau tau, mulutku menganga, nafasku terdiam di tenggorokan saat itu. Cowok sepertimu bisa berkata seperti itu adalah ketertarikan sendiri. Tapi aku tetap menganggap semua itu hanya dari seorang teman untuk temannya. Bukankah itu bodoh? Seharusnya saat itu aku bisa mendapatkan lebih dari apa yang aku pertahankan saat itu. Fikiranku membeku kala itu. Aku tau kau melakukan semua itu atas dasar rasa. Ya, rasa cinta. Aku bisa merasakan ketulusanmu ketika aku terjatuh dan membantuku terbangun. Hanya fikiranku terlalu buta. Bahkan mati.
Betapa bodohnya. Sekarang aku menyesalinya. Aku menyesal ketika hatiku sebenarnya berkata kau mulai bahagia dengan yang lainnya. Seseorang yang baru yang telah merasakan bagaimana rasanya kau perjuangkan. Dia sangat beruntung mendapatkan seseorang sepertimu. Memperjuangkan dengan tulus. Bahkan ketika rasa itu tak dibalas. Aku ingin mendapatkan perhatian, perlindungan, dukungan yang sekarang telah dimiliki wanita yang kau perjuangkan itu. Meski saat ini aku masih mendapatkan itu, aku merasa itu bukan yang dulu kau beri. Bahagialah bersamanya meski mungkin aku tak bahagia melihatmu dengannya.
Aku selalu berkata kembalilah kemari saat kau tak dianggap wanitamu. Aku sudah tidak buta pangeran!
Aku menyesali ketulusanmu
Menyesali atas apa yang sudah terjadi,
meski aku tau,
Mungkin itu sia-sia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar