Gemericik air mulai membasahi atap-atap rumah yang sudah enam bulan tak merasakan kesegarannya. Dedaunan mulai basah, bau tanah tercium sampai batang tenggorokan. Bau ini, aku sudah lama tak mencium aroma ini. Inilah yang aku sukai saat hujan. Semua terasa indah, nyaman, dan tentram. Meski terkadang saat hujan turun ada air yang mengalir di pipi begitu saja. Tentu dengan berbagai latar belakang, tapi selalu membuatku nyaman.
Sama seperti hujan awal November kali ini. Tepat di hari Jumat. Hal ini kembali menariku pada peristiwa enam bulan yang lalu. Peristiwa-peristiwa manis, pahit, semuanya teringat. Begitupula ketika kamu menghilang tanpa kabar yang jelas. Membiarkanku mencari dirimu sendiri. Ketika itu pula aku merasakan bahwa aku sedang berjuang sendirian. Aku. Bukan kita lagi yang berjuang. Begitu konyolnya aku waktu itu. Bagaimana keadaannya masih saja aku mencintaimu.
Saat bayangan itu terputar aku merasa dipermainkan oleh cinta. Aku merasa bodoh dipermainkan cinta. Bukankah aku yang seharusnya mempermainkan cinta? Kau masih ingat semua peristiwa tentang kita? Saat aku dan kamu masih menjadi KITA, berjalan bersama, beriringan. Bukan aku dan kamu yang tak sejalan seperti saat ini. Jika kau tak mengingatnya, aku sangat faham. Kau lelaki yang berasal dari langit dan aku hanya perempuan yang keluar dari tanah. Saat aku dan kamu bukan lagi kita, penggemarmu langsung menyambutnya dengan riang. Ada yang membicarakan dari belakang ada pula yang menyambutnya di depan mataku dengan wajah sumringah. Ada.
Semakin aku membicarakanmu semakin teringat ketika aku rela menunggumu basket. Dikoridor kelas, hujan, kedinginan kala itu. Aku tak peduli akan tatapan sinis para penggemarmu ketika kau mendekatiku, mengusap air yang menetes di kerudungku, memberikan jaketmu ketika tanganku mulai kusut karena kedinginan. Jujur saja aku tak bisa menghadapi tatapan sinis seperti itu, dan aku berfikir kau yang bisa membuatku bisa mengahadapi mereka.
Aku sangat merindukan masa-masa seperti itu. Saat aku tak bisa lagi berharap kepadamu aku membiarkannya mengalir begitu saja. Aku bersyukur setelah itu kita masih bisa berteman dengan baik. Gurauanmu masih sama seperti dulu. Tak ada rasa canggung diantara aku dan kamu sampai detik ini. Jika saja waktu bisa diputar aku ingin memutar awal pertemuan kita. aku sangat bersyukur meski mataku minus aku masih bisa melihat orang sepertimu dengan baik. Aku ingin kau kembali menguatkanku ketika aku benar-benar berada di titik terendah.
Aku sangat mengagumi wajah orientalmu, tubuh putihmu, bentuk tubuhmu, begitu pula dengan sikapmu yang konyol dan kekanak-kanakan tapi sangat menghargai perempuan, Ku pikir beberapa waktu setelah itu rasa ini benar-benar hilang dan takkan pernah muncul kembali. Namun, aku salah. Rasa ini selalu saja muncul ketika awan mendung mulai menyelimuti dan gemericik air mulai membasahi tanah. Aku ingin merasakan kehangatan lenganmu, genggamanmu juga. Aku ingin mendapatkan perlakuanmu saat aku dan kamu berada di keramaian. Kau berusaha melindungiku dengan lenganmu, itu yang selalu membuatku iri akan perawakanmu yang tinggi.
Hujan memang selalu bisa membuat rasa itu kembali kepadaku. Tapi aku tidak akan benci dengan hujan. Karenya pula aku bisa mengingat semua kejadian indah tentang kita yang entah akan terjadi lagi atau tidak. Aku selalu merindukanmu. Jika hujan tak pernah berhenti, maka rasa ini juga tak akan pernah berhenti. Maafkan aku.
Maaf aku telah berfikir
rasa ini telah hilang
Namun, ternyata tidak. Rasa ini masih ada
dan mungkin tak akan pernah hilang..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar