Selasa, November 25, 2014

Aku, Kamu, dan Dia.

Awan hitam yang menggantung sejak pagi tadi akhirnya tumpah menjadi hujan lebat. Tepat saat aku menginjakkan kaki di sebuah rumah sederhana tak berpagar. Kuhirup dalam-dalam aroma khas tanah yang tercium dari jendela kamar. Aku hanya terdiam di daun jendela yang tetap terlihat tegar. Bajuku yang sedari tadi menghangatkan kini memperburuk kondisi. Basah. Betapa mengartikan aku terlalu berjuang menerobos derasnya air yang saling berlomba mencium tanah.
Hening. Hanya terdengar suara burung yang bercakap mengalunkan nada indah. Entah kenapa, setelah bulan lengser dari jabatannya yang tergantikan matahari pada 21 November itu aku merasa sebagian diriku telah pergi bersamamu. Hanya air mata yang mampu berbicara kala itu. Aku tak tahu apakah malam ulang tahunku itu termasuk cara Tuhan mendewasakanku? Tepat setelah kau ucapkan selamat di hari pertambahan usia itu, dini hari itu, kitamemulai untuk saling berjauhan seperti yang kita sepakati semalam. Aku tak tahu apakah ini kado terindahku di hari itu ataukah kado terburukku? Atau ini cara Tuhan?
Apalah itu aku hanya ingin jalan yang terbaik. Jujur saja, aku tak mau semua ini berakhir seperti ini. Aku mencintaimu begitu juga kau. Rasa kita sama. Mungkin, jika rasamu tumbuh pada orang lain yang belum dimiliki aku sangat bersyukur aku menemukan orang sepertimu. Kali ini, semua berbeda. Aku benar tak bisa berdusta. Dusta yang akan membuatku lebih sengsara. Ya..Aku mencintaimu. Tapi aku harus bagaimana. Engkau sudah ada yang punya. Bukan maksutku memberi keputusan seperti itu aku tak mencintaimu. Aku hanya tak ingin kau mendua. Aku juga sama sepertinya. Seorang perempuan yang persaannya mudah tersentuh meski dengan belaian lembut. Aku tahu masih ada karma. Aku tau bagaimana rasanya di madu. Aku tahu betapa sakit hatinya. Entah tercabik, terpukul, yang kutau itu sakit. Tak bisa kubayangkan jika itu terjadi padaku. Mungkin aku sudah biasa tapi bagaimana dengan wanitamu? apakah dia juga begitu? Hati wanita berbeda pangeran.
Beberapa hari ini kujalani hari penuh duri. Separuh diriku telah kau bawa terbang. Sulit bagiku melepaskan kedekatan ini. Tapi aku harus bagaimana? Ketika kita bicara tentang aku dan kamu, kau menanamkan duri di hatiku. Ketika aku bertanya tentang permaisurimu, kau selalu tak mau membahasnya. Apakah kau sudah lupa? Sebelum kau dan aku kembali bertemu setelah dua tahun lalu, kau juga mendambakannya, bukan? Apakah kau juga lupa, yang kau ajak bicara ini siapa? Aku wanita, sama seperti permaisurimu itu! Dan dia juga bagian terpenting dari hidupmu juga raja. 
Aku menyesal dulu telah menyianyiakanmu. Aku juga menyesal telah bertemu denganmu dibawah awan gelap kala itu. Jika aku tak bertemu denganmu, mungkin aku juga tak mengembalikanmu pada perasaanmu dulu kepadaku dan sekarang kau tak sedang dilanda penyesalan atas hubunganmu dengannya, cemas mengkhawatirkan keadaanku yang kaupikir baik-baik saja karena tak mengabarimu, rindu yang kau tujukan pada orang yang hampir saja merusak kebahagiaanmu dengan permaisurimu.
Kau tahu apa alasanku mengakhiri sebuah rasa ketiga ini? Bukankah aku telah menjelaskan panjang-lebar kepadamu? Aku mengakhiri ini bukan berarti aku tak ada rasa sedikitpun padamu. Aku hanya takut pada karma, aku takut mempunyai banyak title dari ratumu, dan teman-temannya. Aku takut mendapat title PHO atau apalah. Aku juga takut ketika kau tak seperti dulu, sekarang kau agresif. Kau terlampau jauh mengungkapkan perasaanmu tanpa memikirkan perasaanya. Meski aku juga takut mengakui bahwa jalan terbaik aku harus berjauhan untuk beberapa saat. Kau harus bersamanya kali ini sayang, tapi entah untuk nanti. Aku juga takut ketika kau memintaku terang-terangan untuk menunggumu. Tentu kau tau, setiap wanita benci menunggu, apalagi menunggu untuk ketidak pastian. 
Berjauhan, dan tanpa kabar seperti ini tak membuat denyut ini berhenti lalu menyerah dalam bakti. Percayalah kasih, di sini aku juga berjuang menahan rasa yang terus tumbuh ketika mataku terbuka di pagi hari di bawah garis bantal yang masih tertinggal di wajah.
Apa dirimu juga tau bahwa menjauh darimu bukan berarti aku tak rindu, tak cemas. Justru rinduku, cemasku menjadi biru, lalu bercampur pilu. Kau mungkin juga tak tau bila mencintaimu dari kejauhan rasanya lebih nyaman. Selain terasa ada pengorbanan juga menyedikitkan keperihan. Terkadang terlintas mengapa hidupku diatur oleh cinta? bukankah aku yang sepatutnya mengatur cinta? Tapi seperti itulah manusia. Dan sekuat-kuatny wanita. Kalahnya juga oleh cinta. 
Aku ingin kau mengerti dari semua ini. Semoga ini lebih baik untukku, untukmu, dan untuk dia. Aku akan bahagia melihatmu bahagia bersamanya. Meski itu hanya opini karena kalimat itu terkandung "akan". Aku bahagia jika kau bahagia bersama-ku. Egois? Haha memang inilah wanita.

Biarkan waktu yang memilihkannya
Bisa saja kau menjadi kekasih terbaikku
Dan bisa saja, kita berdua menjadi kekasih terbaik orang lain
Percayakan semuanya pada-waktu-dan-cinta. Tentunya
-Dwitasari (Kekasih Terindah)

Rabu, November 12, 2014

Penyesalan

Malam ini tak seperti malam biasanya. Bintang tak lagi menampakkan hidungnya, gumpalan awan menutupi sebagian bulan. Bau tanah mulai menerobos lubang hidung. Hanya terdengar nyanyian jangkrik dan kodok beriringan. Hangatnya kopi susu tak lagi mampu menghangatkan tubuh yang mulai kusut dan mati rasa.
Menikmati karuniaNya di balkon rumah. Mataku tertutup perlahan, semilir angin membuatku semakin bersyukur. Aroma tanah membawaku kepada penyesalan atas apa yang pernah terjadi. Beberapa tahun yang lalu, kau menjadi seorang temanku yang kadang ku anggap lalu tidak. Begitu seterusnya. Betapa bodohnya aku memanjakan sifat ego ku, memanjakan gengsiku. Kau selalu berada di sampingku, kapanpun aku butuh kau selalu siap. Meski tengah malam sekalipun. Tapi aku menganggapmu ada ketika aku jatuh, bahkan terkadang aku tak pernah menganggapmu ada. Kau yang selalu mendukungku dari sisi manapun atas apa yang aku lakukan. Kau membenarkan yang salah, juga menyalahkan yang salah. Jika dibandingkan, kau dengan cowok yang aku pertahankan memang kau jauh lebih baik darinya. Entah atas dasar apa aku bisa buta seperti itu. Kau selalu mendukungku saat aku lomba atau apapun tapi dia selalu melarangku mengikutiku kegiatan apapun jika tidak bersamamu. Aku masih ingat saat itu kau berkata 
"Begitukah caranya mencintaimu? melarangmu lebih dekat dengan kesuksesanmu? masa depanmu? Jika kau mengikutinya, kau wanita terbodoh yang singgah di hatiku sampai detik ini! Dia belum tentu menjadi masa depanmu, dan kegiatan seperti itu mendekatkanmu pada masa depanmu!"
Kau tau, mulutku menganga, nafasku terdiam di tenggorokan saat itu. Cowok sepertimu bisa berkata seperti itu adalah ketertarikan sendiri. Tapi aku tetap menganggap semua itu hanya dari seorang teman untuk temannya. Bukankah itu bodoh? Seharusnya saat itu aku bisa mendapatkan lebih dari apa yang aku pertahankan saat itu. Fikiranku membeku kala itu. Aku tau kau melakukan semua itu atas dasar rasa. Ya, rasa cinta. Aku bisa merasakan ketulusanmu ketika aku terjatuh dan membantuku terbangun. Hanya fikiranku terlalu buta. Bahkan mati.
Betapa bodohnya. Sekarang aku menyesalinya. Aku menyesal ketika hatiku sebenarnya berkata kau mulai bahagia dengan yang lainnya. Seseorang yang baru yang telah merasakan bagaimana rasanya kau perjuangkan. Dia sangat beruntung mendapatkan seseorang sepertimu. Memperjuangkan dengan tulus. Bahkan ketika rasa itu tak dibalas. Aku ingin mendapatkan perhatian, perlindungan, dukungan yang sekarang telah dimiliki wanita yang kau perjuangkan itu. Meski saat ini aku masih mendapatkan itu, aku merasa itu bukan yang dulu kau beri. Bahagialah bersamanya meski mungkin aku tak bahagia melihatmu dengannya.
Aku selalu berkata kembalilah kemari saat kau tak dianggap wanitamu. Aku sudah tidak buta pangeran!
Aku menyesali ketulusanmu
Menyesali atas apa yang sudah terjadi,
meski aku tau,
Mungkin itu sia-sia.

Jumat, November 07, 2014

Kupikir Rasa Itu Telah Hilang

Gemericik air mulai membasahi atap-atap rumah yang sudah enam bulan tak merasakan kesegarannya. Dedaunan mulai basah, bau tanah tercium sampai batang tenggorokan. Bau ini, aku sudah lama tak mencium aroma ini. Inilah yang aku sukai saat hujan. Semua terasa indah, nyaman, dan tentram. Meski terkadang saat hujan turun ada air yang mengalir di pipi begitu saja. Tentu dengan berbagai latar belakang, tapi selalu membuatku nyaman.
Sama seperti hujan awal November kali ini. Tepat di hari Jumat. Hal ini kembali menariku pada peristiwa enam bulan yang lalu. Peristiwa-peristiwa manis, pahit, semuanya teringat. Begitupula ketika kamu menghilang tanpa kabar yang jelas. Membiarkanku mencari dirimu sendiri. Ketika itu pula aku merasakan bahwa aku sedang berjuang sendirian. Aku. Bukan kita lagi yang berjuang. Begitu konyolnya aku waktu itu. Bagaimana keadaannya masih saja aku mencintaimu.
Saat bayangan itu terputar aku merasa dipermainkan oleh cinta. Aku merasa bodoh dipermainkan cinta. Bukankah aku yang seharusnya mempermainkan cinta? Kau masih ingat semua peristiwa tentang kita? Saat aku dan kamu masih menjadi KITA, berjalan bersama, beriringan. Bukan aku dan kamu yang tak sejalan seperti saat ini. Jika kau tak mengingatnya, aku sangat faham. Kau lelaki yang berasal dari langit dan aku hanya perempuan yang keluar dari tanah. Saat aku dan kamu bukan lagi kita, penggemarmu langsung menyambutnya dengan riang. Ada yang membicarakan dari belakang ada pula yang menyambutnya di depan mataku dengan wajah sumringah. Ada.
Semakin aku membicarakanmu semakin teringat ketika aku rela menunggumu basket. Dikoridor kelas, hujan, kedinginan kala itu. Aku tak peduli akan tatapan sinis para penggemarmu ketika kau mendekatiku, mengusap air yang menetes di kerudungku, memberikan jaketmu ketika tanganku mulai kusut karena kedinginan. Jujur saja aku tak bisa menghadapi tatapan sinis seperti itu, dan aku berfikir kau yang bisa membuatku bisa mengahadapi mereka.
Aku sangat merindukan masa-masa seperti itu. Saat aku tak bisa lagi berharap kepadamu aku membiarkannya mengalir begitu saja. Aku bersyukur setelah itu kita masih bisa berteman dengan baik. Gurauanmu masih sama seperti dulu. Tak ada rasa canggung diantara aku dan kamu sampai detik ini. Jika saja waktu bisa diputar aku ingin memutar awal pertemuan kita. aku sangat bersyukur meski mataku minus aku masih bisa melihat orang sepertimu dengan baik. Aku ingin kau kembali menguatkanku ketika aku benar-benar berada di titik terendah. 
Aku sangat mengagumi wajah orientalmu, tubuh putihmu, bentuk tubuhmu, begitu pula dengan sikapmu yang konyol dan kekanak-kanakan tapi sangat menghargai perempuan, Ku pikir beberapa waktu setelah itu rasa ini benar-benar hilang dan takkan pernah muncul kembali. Namun, aku salah. Rasa ini selalu saja muncul ketika awan mendung mulai menyelimuti dan gemericik air mulai membasahi tanah. Aku ingin merasakan kehangatan lenganmu, genggamanmu juga. Aku ingin mendapatkan perlakuanmu saat aku dan kamu berada di keramaian. Kau berusaha melindungiku dengan lenganmu, itu yang selalu membuatku iri akan perawakanmu yang tinggi. 
Hujan memang selalu bisa membuat rasa itu kembali kepadaku. Tapi aku tidak akan benci dengan hujan. Karenya pula aku bisa mengingat semua kejadian indah tentang kita yang entah akan terjadi lagi atau tidak. Aku selalu merindukanmu. Jika hujan tak pernah berhenti, maka rasa ini juga tak akan pernah berhenti. Maafkan aku.
Maaf aku telah berfikir
rasa ini telah hilang
Namun, ternyata tidak. Rasa ini masih ada
dan mungkin tak akan pernah hilang..