Awan hitam yang menggantung sejak pagi tadi akhirnya tumpah menjadi hujan lebat. Tepat saat aku menginjakkan kaki di sebuah rumah sederhana tak berpagar. Kuhirup dalam-dalam aroma khas tanah yang tercium dari jendela kamar. Aku hanya terdiam di daun jendela yang tetap terlihat tegar. Bajuku yang sedari tadi menghangatkan kini memperburuk kondisi. Basah. Betapa mengartikan aku terlalu berjuang menerobos derasnya air yang saling berlomba mencium tanah.
Hening. Hanya terdengar suara burung yang bercakap mengalunkan nada indah. Entah kenapa, setelah bulan lengser dari jabatannya yang tergantikan matahari pada 21 November itu aku merasa sebagian diriku telah pergi bersamamu. Hanya air mata yang mampu berbicara kala itu. Aku tak tahu apakah malam ulang tahunku itu termasuk cara Tuhan mendewasakanku? Tepat setelah kau ucapkan selamat di hari pertambahan usia itu, dini hari itu, kitamemulai untuk saling berjauhan seperti yang kita sepakati semalam. Aku tak tahu apakah ini kado terindahku di hari itu ataukah kado terburukku? Atau ini cara Tuhan?
Apalah itu aku hanya ingin jalan yang terbaik. Jujur saja, aku tak mau semua ini berakhir seperti ini. Aku mencintaimu begitu juga kau. Rasa kita sama. Mungkin, jika rasamu tumbuh pada orang lain yang belum dimiliki aku sangat bersyukur aku menemukan orang sepertimu. Kali ini, semua berbeda. Aku benar tak bisa berdusta. Dusta yang akan membuatku lebih sengsara. Ya..Aku mencintaimu. Tapi aku harus bagaimana. Engkau sudah ada yang punya. Bukan maksutku memberi keputusan seperti itu aku tak mencintaimu. Aku hanya tak ingin kau mendua. Aku juga sama sepertinya. Seorang perempuan yang persaannya mudah tersentuh meski dengan belaian lembut. Aku tahu masih ada karma. Aku tau bagaimana rasanya di madu. Aku tahu betapa sakit hatinya. Entah tercabik, terpukul, yang kutau itu sakit. Tak bisa kubayangkan jika itu terjadi padaku. Mungkin aku sudah biasa tapi bagaimana dengan wanitamu? apakah dia juga begitu? Hati wanita berbeda pangeran.
Beberapa hari ini kujalani hari penuh duri. Separuh diriku telah kau bawa terbang. Sulit bagiku melepaskan kedekatan ini. Tapi aku harus bagaimana? Ketika kita bicara tentang aku dan kamu, kau menanamkan duri di hatiku. Ketika aku bertanya tentang permaisurimu, kau selalu tak mau membahasnya. Apakah kau sudah lupa? Sebelum kau dan aku kembali bertemu setelah dua tahun lalu, kau juga mendambakannya, bukan? Apakah kau juga lupa, yang kau ajak bicara ini siapa? Aku wanita, sama seperti permaisurimu itu! Dan dia juga bagian terpenting dari hidupmu juga raja.
Aku menyesal dulu telah menyianyiakanmu. Aku juga menyesal telah bertemu denganmu dibawah awan gelap kala itu. Jika aku tak bertemu denganmu, mungkin aku juga tak mengembalikanmu pada perasaanmu dulu kepadaku dan sekarang kau tak sedang dilanda penyesalan atas hubunganmu dengannya, cemas mengkhawatirkan keadaanku yang kaupikir baik-baik saja karena tak mengabarimu, rindu yang kau tujukan pada orang yang hampir saja merusak kebahagiaanmu dengan permaisurimu.
Kau tahu apa alasanku mengakhiri sebuah rasa ketiga ini? Bukankah aku telah menjelaskan panjang-lebar kepadamu? Aku mengakhiri ini bukan berarti aku tak ada rasa sedikitpun padamu. Aku hanya takut pada karma, aku takut mempunyai banyak title dari ratumu, dan teman-temannya. Aku takut mendapat title PHO atau apalah. Aku juga takut ketika kau tak seperti dulu, sekarang kau agresif. Kau terlampau jauh mengungkapkan perasaanmu tanpa memikirkan perasaanya. Meski aku juga takut mengakui bahwa jalan terbaik aku harus berjauhan untuk beberapa saat. Kau harus bersamanya kali ini sayang, tapi entah untuk nanti. Aku juga takut ketika kau memintaku terang-terangan untuk menunggumu. Tentu kau tau, setiap wanita benci menunggu, apalagi menunggu untuk ketidak pastian.
Berjauhan, dan tanpa kabar seperti ini tak membuat denyut ini berhenti lalu menyerah dalam bakti. Percayalah kasih, di sini aku juga berjuang menahan rasa yang terus tumbuh ketika mataku terbuka di pagi hari di bawah garis bantal yang masih tertinggal di wajah.
Apa dirimu juga tau bahwa menjauh darimu bukan berarti aku tak rindu, tak cemas. Justru rinduku, cemasku menjadi biru, lalu bercampur pilu. Kau mungkin juga tak tau bila mencintaimu dari kejauhan rasanya lebih nyaman. Selain terasa ada pengorbanan juga menyedikitkan keperihan. Terkadang terlintas mengapa hidupku diatur oleh cinta? bukankah aku yang sepatutnya mengatur cinta? Tapi seperti itulah manusia. Dan sekuat-kuatny wanita. Kalahnya juga oleh cinta.
Aku ingin kau mengerti dari semua ini. Semoga ini lebih baik untukku, untukmu, dan untuk dia. Aku akan bahagia melihatmu bahagia bersamanya. Meski itu hanya opini karena kalimat itu terkandung "akan". Aku bahagia jika kau bahagia bersama-ku. Egois? Haha memang inilah wanita.
Biarkan waktu yang memilihkannya
Bisa saja kau menjadi kekasih terbaikku
Dan bisa saja, kita berdua menjadi kekasih terbaik orang lain
Percayakan semuanya pada-waktu-dan-cinta. Tentunya
-Dwitasari (Kekasih Terindah)