Selasa, Februari 10, 2015

Inginku Lupa

Matahari sudah mulai meninggalkan persinggahanya. Hanya sinar rembulan yang menerangi ruangan berukuran 3 x 4 m ini. Suara jangkrik memberikan nada nada indah. Aku sudah beberapa kali mencoba tenggelam dalam kedinginan, tetap saja aku masih terjaga. Aku merasakan kesunyian yang mulai merayap. Hanya memandang langit-langit kamar. Hampa. Aku tak tahu energi apa yang membuatku tetap terjaga sampai larut seperti ini. Satu hal, aku masih memikirkanmu malam ini. Mungkin itu alasanya atau entahlah. 
Aku membayangkan jika saja saat itu tak terjadi hal seperti itu. Jika saja saat itu tak ada harapan. Jika saja aku bisa mengontrol perasaanku. Andai saja saat di Bali kau tak ukir kisah indah sampai susah untuk dilupakan. Semua hanya andaian belaka. Semuanya sudah berlalu. Sudah saatnya untuk dilupakan.
Aku terlalu mengingkari kalau dirimu memang susah untuk dilupakan. Tepatnya kenangan yang masih terngiang. Dirimu memang tidak seistimewa Harry, tak setampan Shaheer Seikh, dirimu adalah dirimu sendiri. Senyumu renyah, tatapanmu hangat, matamu aku suka, lesung pipimu yang selalu mengiringi tawamu. Aku cukup tahu tentang itu semua. Melupakan sesuatu yang terlanjur jatuh kedua kalinya tidaklah mudah. Setangguh apapun, se kuat apapun aku tetap saja aku perempuan. Aku butuh obat untuk mengurangi nyeri yang masih sering kambuh. Untuk melupakanmu saja aku terjatuh beberapa kali. Kehadiran lelaki lainpun tak memudarkan semuanya. Kau masih tertinggal dalam bayangan yang sering muncul ke permukaan. Justru kehadiran lelaki lain itu menambah goresan yang sudah kau lukis. Aku semakin sadar bahwa aku butuh tenaga extra untuk melupakanmu. Aku butuh berbagai macam cara untuk memulihkannya. Masih saja tak bisa kuhapus ruang untukmu. Handphoneku, leptop, album masih ada sosokmu di sana. Apalagi pikiranku yang terus digelayuti bayangan nyata ataupun tidak. 
Aku ingin melupakanmu. Aku sudah lelah dengan semua drama ini. Aku ingin kita kembali seperti dulu. Saling bercerita tentang drama kehidupan masing-masing sebagai seorang teman. Iya, teman. Sebelum kau tahu aku mempunyai rasa lebih yang mulai tumbuh kembali. Aku lebih bahagia saat itu. Saat gurauan dan gojlokan tak lagi menyakiti hati. Saat tak harus saling menjaga perasaan satu sama lain. 
Aku tak tahu bagaimana caraku melupakanmu. Yang kutemukan jalan buntu yang memaksaku untuk berputar balik. Jika aku harus melupakanmu, katakanlah padaku bagaimana caranya agar aku bisa melupakanmu. Aku ingin melupakan semua ini, tentang perasaan yang terus bergejolak disetiap gelombangnya. Tentang rasa yang salah. Mungkin aku akan lebih bahagia melihatmu dengan kekasihmu, aku akan lebih bahagia saat kau kembali bercerita kepadaku apa yang terjadi pada hubungan kalian. Aku mengharapkan semua itu kembali. Aku ingin melukiskan akhir masa biru putih ini dengan indah dengan sejuta cerita yang kubawa. Kemarin aku sudah berhasil melupakan sebagianya, 85% bukankah itu menyenangkan? tidak karena dari 85% kembali gagal 25%. Haruskah aku terus berusaha menghilangkan 40% lainya? 

Katakan padaku bagaimana caraku
untuk melupakanmu-Untuk teman

Kamis, Februari 05, 2015

Pergilah, Pergi Saja Jangan Kembali

Kau harus tau, aku tidak akan menggenggamu terlalu erat karena aku tahu semua tidak akan berjalan dengan begitusaja. Jika kau bertanya apakah aku mencintaimu aku menjawab iya sangat. Lalu jika kau bertanya mengapa aku tak menahanmu saat kau pergi kukira kau sudah tau jawabanya. Mana mungkin gadis ingusan yang baru belajar menyisir rambut sepertiku mampu menahan lelaki seberlian kamu, bagaimanapun posisiku.
Kau meninggalkanku dengan harapan harapan yang masih menunggu pembuktian. Harapan itu gugur bergantian saat kau pergi tanpa alasan logis. Waktu itu hanya air mata yang tahu betapa kau telah meninggalkan sayatan yang sangat sakit. Rasa sakit tak mengizinkanku untuk menahanmu agar kau tetap bersamaku. Bibirku bergetar, aku ingin mengatakan bahwa aku mencintaimu tapi yang terucap hanya terimakasih. Aku hanya bisa memandangi punggungmu yang kian lama kian jauh sampai akhirnya benar-benar tak terlihat. Kau meninggalkanku sebegitu cepat di bawah awan yang tak kuasa menahan kesedihannya melihat kisah kita yang telah usai. Hujan kala itu menyembunyikan bulir berlian yang luruh, pelupuk mata tak kuat menahan derasnya.
Aku hanya menangkap kata bosan dari penjelasanmu tadi. Ya, kau bosan dengan semua yang telah berjalan cukup lama. Semua kalimat yang sering kau ucap sudah menjadi bayangan-kenangan. Tak ada lagi lagu penghantar tidur yang selalu kau nyanyikan. Tak ada lagi sapaan atau senyuman saat kita bertemu. Semua hilang. Semuanya. Untuk kesekian kalinya aku berusaha sendirian untuk melupakan semua tentang kita. Mungkin bagimu melupakan hubungan ini tidaklah sulit. Setelah kau tak lagi bersamaku kau sudah berjalan kesana kemari dengan gadis lain. Tak butuh banyak waktu untukmu melupakan semua ini. Aku tertatih sendirian. 
Setelah aku berhasil melupakan sebagian tentang kita kau kembali datang dengan beribu maaf dan berjuta alasan kau meninggalkanku saat itu. Aku tak tau haruskah aku menerimamu lagi atau melakukanmu sama seperti apa yang telah kau lakukan. Apakah aku harus senang atau bagaimana. Lukaku sedikit terobati saat kau kembali menghadirkan senyum untukku. Namun sebenarnya aku juga merasa kau permainkan. Setelah aku berusaha melupakan semuanya, dipertengahan jalan kau kembali. Kau tau bagaimana rasanya? usahaku semua sia-sia. Hilang dalam hitungan menit di tempat yang sama. Tempat parkir sekolah. Tak butuh waktu lama untuk berfikir haruskah aku menerimamu kembali. Dan iya, aku menerimamu kembali. Masih sama, Tulus. Tak ada satupun rasa khawatir akan kejadian beberapa bulan lalu terulang lagi.
Satu minggu semuanya telah kembali. Luka yang sempat kau buat kini telah perlahan terobati. Hanya rasa bahagia yang aku rasakan. Semua benar kembali. Aku kembali memiliki senyum simpul manis itu.
satu bulan, dua bulan, tiga bulan sudah terlewati namun hari ini tepat dihari anniv kita sesuatu yang tak terbayangkan kembali terjadi. Untuk kedua kalinya kau ingin menyudahi hubungan ini. Aku berfikir kau benar-benar memainkanku dan kau sudah kehilangan akal sehatmu. Aku sakit. Terjatuh untuk kedua kalinya dengan orang yang sama. Kau juga meninggalkanku sendirian di tempat yang sama. Aku tak bisa melakukan apapun selain mendaratkan tangan sekencang mungkin di pipimu. Rasa sakit itu tak seberapa. Aku jatuh di lubang yang sama dengan perangkap yang sama. Bodoh memang mempercayai orang yang telah membuat hati ini hancur. Aku terlalu bodoh untuk mempercayaimu untuk menyembuhkan lukaku. Kau datang-pergi-datang-lalu kau pergi lagi begitu saja seterusnya sampai aku merasa orang paling bodoh atas perlakuanmu. Aku menyesal. Sangat menyesal. Tapi entahlah, aku hanya merasakan penyesalan namun tidak merasakan kehilangan yang sangat berarti. Mungkin rasa yang dulu ada sedikit demi sedikit larut setelah kepergianmu untuk pertama kalinya. Kali ini aku juga tak banyak menguras tenaga dan waktuku untuk melupakanmu. Aku merasa jauh lebih siap jika ini terjadi lagi meski tak terpikirkan sekalipun. Ku akui aktingmu, jalan cerita yang kau buat sangat bagus, kau mengemasnya dalam satu rasa yang mengecewakan. Aku tidak mendo'akanmu mendapatkan apa yang aku alami, tapi bukankah semua itu ada hukum karma yang masih berlaku? Lihat saja nanti. Kali ini aku tak akan berusaha untuk memintamu bertahan. Aku tak akan terjatuh lagi di lubang yang sama. Hei kau! pergilah jika kau ingin pergi lagi, silakan! tapi kumohon jangan pernah untuk kembali! Bukankah semua itu sudah menjadi konsekuensi? Pergilah yang jauh! Selamat menanti karma atas perbuatanmu, kau akan lebih tertatih-tatih dariku. Jangan pernah kembali untuk hadirkan luka yang lebih dalam. Terimakasih atas proses pendewasaanya.

Selasa, November 25, 2014

Aku, Kamu, dan Dia.

Awan hitam yang menggantung sejak pagi tadi akhirnya tumpah menjadi hujan lebat. Tepat saat aku menginjakkan kaki di sebuah rumah sederhana tak berpagar. Kuhirup dalam-dalam aroma khas tanah yang tercium dari jendela kamar. Aku hanya terdiam di daun jendela yang tetap terlihat tegar. Bajuku yang sedari tadi menghangatkan kini memperburuk kondisi. Basah. Betapa mengartikan aku terlalu berjuang menerobos derasnya air yang saling berlomba mencium tanah.
Hening. Hanya terdengar suara burung yang bercakap mengalunkan nada indah. Entah kenapa, setelah bulan lengser dari jabatannya yang tergantikan matahari pada 21 November itu aku merasa sebagian diriku telah pergi bersamamu. Hanya air mata yang mampu berbicara kala itu. Aku tak tahu apakah malam ulang tahunku itu termasuk cara Tuhan mendewasakanku? Tepat setelah kau ucapkan selamat di hari pertambahan usia itu, dini hari itu, kitamemulai untuk saling berjauhan seperti yang kita sepakati semalam. Aku tak tahu apakah ini kado terindahku di hari itu ataukah kado terburukku? Atau ini cara Tuhan?
Apalah itu aku hanya ingin jalan yang terbaik. Jujur saja, aku tak mau semua ini berakhir seperti ini. Aku mencintaimu begitu juga kau. Rasa kita sama. Mungkin, jika rasamu tumbuh pada orang lain yang belum dimiliki aku sangat bersyukur aku menemukan orang sepertimu. Kali ini, semua berbeda. Aku benar tak bisa berdusta. Dusta yang akan membuatku lebih sengsara. Ya..Aku mencintaimu. Tapi aku harus bagaimana. Engkau sudah ada yang punya. Bukan maksutku memberi keputusan seperti itu aku tak mencintaimu. Aku hanya tak ingin kau mendua. Aku juga sama sepertinya. Seorang perempuan yang persaannya mudah tersentuh meski dengan belaian lembut. Aku tahu masih ada karma. Aku tau bagaimana rasanya di madu. Aku tahu betapa sakit hatinya. Entah tercabik, terpukul, yang kutau itu sakit. Tak bisa kubayangkan jika itu terjadi padaku. Mungkin aku sudah biasa tapi bagaimana dengan wanitamu? apakah dia juga begitu? Hati wanita berbeda pangeran.
Beberapa hari ini kujalani hari penuh duri. Separuh diriku telah kau bawa terbang. Sulit bagiku melepaskan kedekatan ini. Tapi aku harus bagaimana? Ketika kita bicara tentang aku dan kamu, kau menanamkan duri di hatiku. Ketika aku bertanya tentang permaisurimu, kau selalu tak mau membahasnya. Apakah kau sudah lupa? Sebelum kau dan aku kembali bertemu setelah dua tahun lalu, kau juga mendambakannya, bukan? Apakah kau juga lupa, yang kau ajak bicara ini siapa? Aku wanita, sama seperti permaisurimu itu! Dan dia juga bagian terpenting dari hidupmu juga raja. 
Aku menyesal dulu telah menyianyiakanmu. Aku juga menyesal telah bertemu denganmu dibawah awan gelap kala itu. Jika aku tak bertemu denganmu, mungkin aku juga tak mengembalikanmu pada perasaanmu dulu kepadaku dan sekarang kau tak sedang dilanda penyesalan atas hubunganmu dengannya, cemas mengkhawatirkan keadaanku yang kaupikir baik-baik saja karena tak mengabarimu, rindu yang kau tujukan pada orang yang hampir saja merusak kebahagiaanmu dengan permaisurimu.
Kau tahu apa alasanku mengakhiri sebuah rasa ketiga ini? Bukankah aku telah menjelaskan panjang-lebar kepadamu? Aku mengakhiri ini bukan berarti aku tak ada rasa sedikitpun padamu. Aku hanya takut pada karma, aku takut mempunyai banyak title dari ratumu, dan teman-temannya. Aku takut mendapat title PHO atau apalah. Aku juga takut ketika kau tak seperti dulu, sekarang kau agresif. Kau terlampau jauh mengungkapkan perasaanmu tanpa memikirkan perasaanya. Meski aku juga takut mengakui bahwa jalan terbaik aku harus berjauhan untuk beberapa saat. Kau harus bersamanya kali ini sayang, tapi entah untuk nanti. Aku juga takut ketika kau memintaku terang-terangan untuk menunggumu. Tentu kau tau, setiap wanita benci menunggu, apalagi menunggu untuk ketidak pastian. 
Berjauhan, dan tanpa kabar seperti ini tak membuat denyut ini berhenti lalu menyerah dalam bakti. Percayalah kasih, di sini aku juga berjuang menahan rasa yang terus tumbuh ketika mataku terbuka di pagi hari di bawah garis bantal yang masih tertinggal di wajah.
Apa dirimu juga tau bahwa menjauh darimu bukan berarti aku tak rindu, tak cemas. Justru rinduku, cemasku menjadi biru, lalu bercampur pilu. Kau mungkin juga tak tau bila mencintaimu dari kejauhan rasanya lebih nyaman. Selain terasa ada pengorbanan juga menyedikitkan keperihan. Terkadang terlintas mengapa hidupku diatur oleh cinta? bukankah aku yang sepatutnya mengatur cinta? Tapi seperti itulah manusia. Dan sekuat-kuatny wanita. Kalahnya juga oleh cinta. 
Aku ingin kau mengerti dari semua ini. Semoga ini lebih baik untukku, untukmu, dan untuk dia. Aku akan bahagia melihatmu bahagia bersamanya. Meski itu hanya opini karena kalimat itu terkandung "akan". Aku bahagia jika kau bahagia bersama-ku. Egois? Haha memang inilah wanita.

Biarkan waktu yang memilihkannya
Bisa saja kau menjadi kekasih terbaikku
Dan bisa saja, kita berdua menjadi kekasih terbaik orang lain
Percayakan semuanya pada-waktu-dan-cinta. Tentunya
-Dwitasari (Kekasih Terindah)